Deskripsi Diri

Khairil Anwar, SE, M.Si lahir di Paya Naden pada 20 April 1978 dari pasangan Tengku Umar bin Abu Bakar dan Fatimah binti Muhammad. Gelar Sarjana di peroleh dari Unsyiah Banda Aceh, sementara gelar Magister di peroleh dari SPs-USU Medan. Sejak tahun 2002 sampai saat ini bekerja sebagai dosen pada Prodi IESP Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh. Menikah dengan Riza Izwarni dan telah dikarunia dua orang anak; Muhammad Pavel Askari dan Aisha Naury.

Selasa, 18 Oktober 2011

Pengaruh Promosi Moneter Dan Promosi Non Moneter Pada Ekuitas Merek Dalam Konteks Produk Hedonik Dan Produk Utilitarian





Nurainun, SE, M.Sc www.fe-unimal.org (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh)
Publish at: Economic, Management and Business Journal (EMABIS) Volume 9 No. 1 Agustus 2009


Abstract
The purpose of this research is to identify the difference effect between monetary and non monetary promotion on dimension of brand equity (perceived quality,  brand loyalty, brand image) on hedonic and utilitarian product. The monetary promotion that used are discount and bonus pack, and the non monetary promotion that used is premium. Milk and chocolate with unknown brand is the product that classified as utilitarian and hedonic product. There are six hypotheses propose in this study.
To answer these hypotheses, researcher employed the experimental design research by applying statistical experimental-completely randomized design as the research design. The participants of this research are 120 student of Magister Sains UGM. One Way Anova is used to test all hypotheses.
The result of the research shows that no differences effect between monetary and non monetary promotion on brand equity on utilitarian product. But there is differences between monetary promotion that are discount and bonus pack on brand loyalty. Whereas for hedonic product, there is differences effect between monetary and non monetary promotion on perceived quality, but the differences effect only on premium (non monetary) and bonus pack. And no differences effect between monetary and non monetary promotion on the other brand equity dimensions. 

Keywords: Sales promotion, brand equity, type of product (hedonic and utilitarian)

Memaksimumkan laba merupakan tujuan hampir semua perusahaan, laba yang tinggi dapat diperoleh dengan cara mendorong penjualan setinggi mungkin dengan cepat. Tetapi persaingan antar produk yang sejenis atau tak sejenis sangatlah tajam. Sehingga perusahaan harus berhati-hati dalam menentukan strategi pemasarannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mendorong penjualan adalah dengan melakukan promosi penjualan (sales promotion) seperti memberi potongan harga, ekstra isi, memberikan hadiah atau produk ekstra, kupon, sayembara dan masih banyak lagi. Tetapi strategi tersebut harus dilakukan dengan hati-hati dan dalam waktu yang tepat. Promosi penjualan memang dapat mendorong penjualan dengan cepat tetapi jika dilakukan dalam rentang waktu yang lama dan terlalu sering akan memberikan dampak pada ekuitas merek.
Promosi-promosi tersebut jika dilakukan dalam rentang waktu yang pendek akan mendorong penjualan tetapi jika dilakukan dalam rentang waktu yang lama akan menimbulkan dampak negatif pada ekuitas merek dan nantinya dapat menurunkan laba perusahaan. Karena salah satu cara meningkatkan laba perusahaan adalah dengan meningkatkan ekuitas merek. Dan bisa saja pada saat harga-harga tersebut telah kembali normal konsumen akan beralih ke produk-produk yang lain yang dapat memberikan manfaat yang sama dengan harga yang lebih terjangkau.
Dan untuk membangun merek yang kuat perusahaan dapat menggunakan program-program dalam komunikasi pemasaran. Ada enam program komunikasi pemasaran yang dapat digunakan oleh perusahaan yaitu periklanan, promosi penjualan, hubungan masyarakat dan publisitas, penjualan personal dan pemasaran langsung. Ke  enam program tersebut dapat digunakan  secara terpadu untuk membangun ekuitas merek yang menurut Kotler & Keller (2006) terdiri dari empat komponen yaitu kesadaran merek (brand awareness), citra merek (brand image), brand responsive dan brand relationship. Tetapi Aaker (1991) dalam Yoo et al., (2000) menyatakan bahwa promosi penjualan bukanlah cara yang tepat untuk membangun ekuitas merek karena sangat mudah untuk ditiru. Dan dalam jangka panjang dapat memperlihat citra kualitas merek yang rendah (low-quality brand image). Bahkan promosi yang terlalu sering dapat membahayakan merek karena dapat menyebabkan konsumen bingung antara harga yang diharapkan dengan harga yang diobeservasi yang dapat menghasilkan citra ketidakstabilan kualitas (Winner 1986 dalam Yoo et al., 2000).
Beberapa jenis promosi penjualan seperti yang telah disebutkan di atas dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu promosi moneter seperti ekstra isi (bonus pack) dan potongan harga (discount) dan promosi non moneter seperti produk ekstra atau premium. Dari beberapa studi yang telah dilakukan oleh para peneliti tentang promosi penjualan diperoleh hasil bahwa promosi penjualan mempunyai pengaruh pada ekuitas merek.
Dobson et al., (1978); Gupta (1998) yang dikutip oleh Vidal dan Ballester (2005) menyatakan diantara ke enam program tersebut, promosi penjualan (sales promotion) khususnya promosi harga (monetary promotion) dipercaya dapat menghancurkan ekuitas merek karena promosi moneter (monetary promotion) hanya meningkatkan laba perusahaan dalam jangka pendek dengan mendorong penjualan dan menukar merek serta  dapat juga membawa pada citra merek yang rendah (Yoo et al., 2000). Sedangkan untuk jangka panjang menurut Mela et al., (1997) dalam artikel yang sama dari Vidal dan Ballester  (2005) promosi harga dapat meningkatkan sensitivitas akan harga dan menghancurkan ekuitas merek. Keller (1998) dalam Sriram et al., (2007) menyatakan penggunaan promosi harga yang terlalu sering dapat menciptakan atau memperkuat hubungan antara potongan harga dengan merek sehingga menurunkan ekuitas merek. Lebih jauh lagi promosi harga menyebabkan konsumen hanya mau membeli merek tersebut pada saat ada program promosi. Walaupun demikian menurut Aaker (1996) dalam Sriram et al., (2007) meskipun promosi harga membahayakan  tetapi juga dapat mendukung ekuitas merek. Learning theory menyatakan pembentukan perilaku konsumen melalui promosi dapat membawa pada attitudinal loyalty.    
Hasil studi Chandon et al., (2000) dalam artikel yang ditulis oleh Vidal dan Ballester (2005) menyatakan bahwa efektifitas program promosi penjualan ditentukan oleh kesesuaian antara manfaat (utilitarian dan hedonic) dan produk yang dipromosikan, promosi moneter dihubungkan pada utilitarian benefit yang memiliki instrumental, functional dan cognitive nature.    Dan untuk high equity brand,  promosi moneter lebih efektif pada produk utilitarian dari pada untuk produk hedonic. Serta menyimpulkan bahwa promosi moneter lebih cocok untuk produk utilitarian dan promosi non moneter lebih sesuai untuk produk hedonik. Tetapi meskipun demikian, pemilihan produk sebagai hadiah (free gift) untuk promosi non moneter tergantung pada kategori produk yang diberikan dan ini lebih disukai oleh konsumen (Liao, 2006). Sehingga pemilihan produk yang tepat malahan dapat meningkatkan ekuitas merek.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan pengaruh promosi moneter dan promosi non moneter pada ekuitas merek pada produk hedonik dan utilitarian. Dalam penelitian ini, penulis mengunakan  konsep ekuitas merek dari Aaker yaitu perceived quality, brand awareness, brand  loyalty dan brand image. Tetapi dalam penelitian ini, peneliti tidak mengukur dimensi brand awareness dikarenakan untuk mengukur brand awareness harus melakukan pengumpulan data dalam waktu yang lebih lama (logitudinal study) sedangkan dalam penelitian ini peneliti hanya melakukan crossectional study. Untuk promosi moneter jenis promosi yang digunakan discount dan bonus pack untuk promosi non moneter jenis promosi yang digunakan adalah premium. Studi ini memodifikasi penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh Ramos dan Franco (2005), Yoo at el., (2000), Vidal dan Ballaster (2005).
Fokus penelitian ini pada produk susu kalsium kotak ukuran 500 gram dan coklat batang berukuran kecil dalam kemasan ekslusif ukuran 125 gr. Sebagai partisipan adalah para mahasiswa MSi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

 Promosi Penjualan
Crask et al., (1995) mendefinisikan promosi penjualan  sebagai berbagai dorongan langsung yang diberikan kepada distributor dan konsumen dengan tujuan utama menciptakan penjualan secepat mungkin. Promosi penjualan dibagi ke dalam dua kategori tergantung pada audience yang dituju. Promosi seperti coupon, rebates, games dan contests diarahkan langsung kepada pengguna akhir dari merek yang dikelompokkan pada consumer promotion. Sedangkan promosi seperti case allowance dan co-op advertising yang langsung diberikan pada distributor disebut dengan trade promotion. Ada beberapa jenis consumer promotion yaitu point-of purchase promotion (POP) seperti display, demonstrasi atau tanda-tanda spesial yang ditempatkan dalam toko; coupon adalah sertifikat yang didistribusi melalui pos atau surat kabar yang menawarkan konsumen pengurangan harga dari suatu merek produk; samples adalah free quantitas dari suatu merek produk yang diberikan kepada konsumen biasanya melalui pos; price off adalah pengurangan harga langsung atau potongan yang ditawarkan pada saat melakukan pembelian; contest adalah kompetisi yang diadakan untuk peserta dan diberikan hadiah; premium adalah hadiah yang diperoleh konsumen karena membeli merek produk tertentu; bonus pack adalah tambahan kuantitas dalam sebuah packaging dari sebuah merek produk. Masing-masing dari jenis promosi penjualan tersebut mempunyai beberapa tujuan. POP, coupon, samples, price-off, contest bertujuan agar konsumen mau mencoba untuk menggunakan produk tersebut. POP, price off dan  bonus pack mempunyai tujuan untuk mengubah pencoba menjadi pengguna. Coupon, price off, premium dan bonus pack bertujuan untuk membujuk pembelian yang lebih besar. POP, coupon, contest, samples dan bonus pack bertujuan untuk merangsang pembelian yang tidak direncanakan. Price off dan contest bertujuan untuk meningkatkan penerimaan transaksi perdagangan. Contest dapat digunakan untuk memperbaiki efektifitas dari periklanan dan juga untuk mempertinggi brand image.
Campbell dan Diamond (1990) mengelompokkan promosi penjualan ke dalam dua kategori yaitu non monetary promotion  (seperti extra product dan premium) yang di pandang sebagai gain dan dipertimbangkan secara terpisah dengan reference price. Dan monetary promotion (seperti discount dan rebate) yang mempengaruhi reference price. Monetary dan non monetary promotion memilki fungsi yang berbeda tetapi juga saling melengkapi. Monetary promotion bertujuan mempengaruhi perilaku (behavioral) sedangkan non monetary promotion bertujuan mempengaruhi secara emosional (affective) dan juga perilaku (behavioral).
Thaler (1985) seperti yang dikutip oleh Diamond dan Johnson (1990) menyatakan bahwa promosi penjualan digambarkan sebagai gains atau losses. Promosi yang digambarkan sebagai  gains  akan mempunyai manfaat yang dipisahkan dari original purchase price, sementara promosi yang digambarkan sebagai a loss akan dilihat semata-mata mengurangi initial purchase price. Thaler dan Johnson (1986) seperti yang dikutip oleh Diamond et al., (1990) juga menghipotesakan bahwa situasi akan digambarkan sesuai dengan mekanisme hedonic.  
Menurut Diamond dan Campbell (1990) sebuah promosi yang efisien harus berada antara batas latitude of acceptance dan just noticeable difference.  Latitude of acceptance adalah batas harga promosi yang diberikan yang dapat diterima oleh konsumen (relevan) sehingga si konsumen tidak akan curiga dan menolak promosi yang ditawarkan. Just noticeable difference adalah promosi yang terkecil yang memberikan nilai insentif. Jika nilai promosi yang diberikan terlalu kecil dibandingkan dengan harga referensi sebuah produk, si konsumen tidak akan menyadari adanya program promosi karena tidak memberikan dampak. Tetapi jika diberikan promosi yang terlalu tinggi,  konsumen akan curiga ada masalah dengan produk tersebut. Karena itulah nilai sebuah promosi harus berada antara just noticeable difference dan latitude of acceptance.

Discount dan Bonus pack
Crask et al., (1995) mendefinisikan discount atau price off sebagai pengurangan harga langsung atau potongan yang ditawarkan pada saat melakukan pembelian. Menurut Tellis et al., (2005) melalui discount pemilik retail memotong atau mengurangi harga dari suatu daftar harga merek yang diberikan kepada konsumen yang disertai dengan display di dalam toko atau koran yang disebut dengan feature. Dalam mendesain sebuah promosi harga, manajer harus memperhatikan apakah promosi yang diberikan tersebut akan diperhatikan atau ditolak oleh konsumen. Karena itu agar sebuah promosi dapat efektif maka promosi tersebut harus disadari atau diperhatikan oleh konsumen, pemasar harus dapat menentukan tingkatan  konsumen dalam mempersepsikan nilai yang dipromosikan berbeda dari harga regular yang direferensikan.
Menurut Aaker (1991); Gupta (1988) dalam Yoo et al., (2000) promosi harga dipercaya dapat mengikis brand equity khususnya jika ada persepsi  yang kuat antara kualitas dengan harga meskipun promosi harga dapat memberikan keuntungan dalam waktu jangka pendek melalui penjualan dan menukar merek sementara (brand switching). Untuk jangka panjang promosi harga dipercaya dapat memberikan kesan kualitas brand image yang rendah. Lebih jauh lagi promosi harga yang terlalu sering menyebabkan konsumen bingung antara harga yang sesungguhnya dengan harga yang dipromosikan.
Menurut Soo Ong et al., (1997) bonus pack adalah kemasan khusus dengan produk ekstra dari pabrik yang ditawarkan kepada konsumen  tanpa biaya tambahan. Misalkan sebuah merek detergen dengan kemasan 100 gram ditambahkan extra produk 25 gram sehingga  menjadi 125 gram. Sebuah mega deal dalam bonus pack promotion adalah penggunaan ”BOGO” (buy one, get one free). Biasanya kuantitas dalam bonus pack bervariasi antara 20 sampai dengan 40 persen tetapi yang paling sering adalah sepertiganya.
Dalam kebanyakan kasus bonus pack promotion menunjukkan penawaran dalam waktu jangka pendek yang didesain untuk merangsang penjualan dalam waktu jangka pendek dan mendorong penjualan (Reiter, 1994 dalam Soo Ong et al., 1997). Selain itu, bonus pack juga menghindari produsen dari mengurangi harga regular untuk mendapatkan keunggulan yang kompetitif. Dan dengan bonus pack, produsen yakin jika ekstra produk yang ditawarkan akan menjangkau konsumen daripada diserap oleh retail sebagai keuntungan tambahan. (Schultz et al., 1994 dalam Soo Ong  et al., 1997).
Meskipun demikian sebagian konsumen mempersepsikan berbeda. Ketika konsumen melihat sebuah kemasan botol dengan tulisan 100 % free, maka dia akan berfikir produsen telah menipunya. Dan sebagian konsumen lagi tidak menyadari dan tidak perduli karena mereka tidak menggunakan merek produk tersebut (Schultz et al., 1994 dalam Soo Ong et al., 1997). Dan sebagian konsumen bisa saja  tidak menyadari bahwa bonus tersebut adalah penawaran yang sifatnya sementara sehingga mereka dapat menghargai nilai dari tawaran tersebut. Schultz et al., (1994) juga menyebutkan bahwa bonus pack tidak menarik perhatian konsumen yang tidak biasa menggunakan produk tersebut (product needs). Dan juga dalam kebanyakan kasus, para konsumen tidak mempercayai jika mereka memperoleh ekstra dari uang yang mereka keluarkan, mencurigai bahwa harga produk tersebut telah dinaikkan atau kuantitas yang ditawarkan sebenarnya sama dengan berat yang regular dari produk tersebut.

Premium
Premium yang langsung diperoleh oleh konsumen (direct consumer premium) telah didefinisikan sebagai package related, free bonus item yang ditawarkan oleh manufaktur kepada konsumen ketika mereka membeli produk yang sedang diberi program promosi. Manufaktur menempatkan free gift tersebut dalam empat cara yaitu menempatkannya dalam display dekat dengan produk yang dipromosikan, dilampirkan di kemasan, dimasukkan dalam kemasan atau   sebagai kemasan produk itu sendiri (Jones, 2005). Crask et al., (1997) mendefinisikan premium sebagai gift yang diterima oleh konsumen untuk pembelian merek produk tertentu. Dari sebuah survey yang dilakukan oleh Narayana dan Raju (1985) diketahui bahwa jenis promosi penjualan seperti gift dan premium lebih sesuai untuk ibu rumah tangga yang masih muda yang tinggal di daerah pedesaan. Meskipun demikian Liao (2006)  menemukan bahwa hadiah yang diberikan lebih disukai jika berhubungan dengan produk yang sedang dipromosikan tersebut dan waktu yang diberikan untuk memperoleh hadiah tersebut tidaklah lama dan langsung diterima oleh si konsumen.

Ekuitas Merek
America Marketing Association mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol atau desain atau kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau sekelompok penjual untuk membedakan produk-produk tersebut diantara para pesaing. Para konsumen dapat mengevaluasi ciri khas sebuah produk secara berbeda tergantung  bagaimana produk tersebut dimerekkan. Merek juga dapat memberikan sinyal tingkat kualitas dari sebuah produk (Kotler dan Keller, 2006).
Yoo et al., (2000) mendefinisikan brand equity sebagai perbedaan dalam pemilihan produk yang bermerek dengan produk yang tidak bermerek yang memiliki fitur yang sama oleh konsumen. Yoo juga menyebutkan brand equity dapat diciptakan, dijaga dan diperluas dengan memperkuat dimensi-dimensi dari brand equity. Karenanya setiap kegiatan marketing yang dilakukan berpotensial mempengaruhi brand equity karena kegiatan-kegiatan tersebut menggambarkan pengaruh akumulasi investasi marketing pada merek. Pengenalan merek (brand recognition) dengan asosiasi yang kuat (strong brand association), perceived quality dan brand loyalty dapat dikembangkan melalui investasi jangka panjang yang cermat.  
Aaker et al., (2003) dalam marketing research mengelompokkan dimensi brand equity menjadi perceived quality, name awareness (brand awareness), brand loyalty, brand association (brand image) dan hal-hal lain yang berhubungan dengan brand asset seperti: patent, trade mark, saluran hubungan dan sebagainya.
Berbeda dengan periklanan walaupun promosi dapat meningkatkan penjualan dalam waktu jangka pendek tetapi menimbulkan dampak pada ekuitas merek jika dilakukan dalam waktu jangka panjang. Penggunaan promosi yang terlalu sering akan membuat konsumen menghubungkan merek produk tertentu dengan kata”discount” sehingga dapat menurunkan ekuitas merek dari produk tersebut. Dan studi empiris yang dilakukan oleh Jedidi, Mela dan Gupta (1999) dalam Sriram et al., (2007) menemukan promosi yang dilakukan dalam waktu jangka panjang berhubungan negatif dengan ekuitas merek.
Dari hasil studi yang dilakukan oleh Gupta (1988) ditemukan bahwa penjualan meningkat dengan tajam dikarenakan promosi penjualan (price cut, display and feature, display or feature) yang diperoleh karena konsumen beralih membeli merek yang sedang dipromosikan (brand swiching). Sehingga promosi akan menguntungkan jika dilakukan dalam waktu jangka pendek tetapi akan menimbulkan efek yang negatif pada ekuitas merek jika dilakukan dalam waktu jangka panjang. Karena dapat melemahkan dimensi dari ekuitas merek seperti brand loyalty. Seperti yang dinyatakan oleh Rothschild, brand loyalty akan menurun ketika promosi penjualan berada dalam tingkatan yang tinggi dan hanya ada sedikit perbedaan untuk membedakan antara satu merek dengan merek yang lain. Sedangkan tujuan utama dari promosi penjualan salah satunya adalah untuk  membantu pengenalan merek baru dengan menghancurkan kesetiaan pada merek produk yang lama. Dan behavioral learning theory menyatakan bahwa promosi-promosi tersebut menguatkan konsumen untuk mencari promosi-promosi lain dan mengarah kepada perilaku yang cenderung untuk mencari merek yang sedang dipromosikan daripada menimbulkan suatu kesetiaan yang baru. 
Dan dari studi yang dilakukan oleh Ramos dan Franco (2005) juga ditemukan adanya hubungan yang negatif antara promosi harga dengan ekuitas merek. Promosi harga yang diberikan memang meningkatkan penjualan tetapi konsumen mempunyai persepsi bahwa produk tersebut mempunyai kualitas yang rendah dan citra yang kurang baik. Tetapi walaupun demikian dari studi yang dilakukan oleh Vidal dan Ballester (2005) diperoleh hasil bahwa promosi penjualan memberikan kontribusi pada ekuitas merek dengan menciptakan kesadaran akan merek (brand awareness). Sehingga promosi penjualan dapat digunakan untuk membangun pengetahuan akan merek (brand knowledge) karena para konsumen diekspos untuk menstimulasi promosi.

Produk Hedonik dan Utilitarian
Sesuai dengan klasifikasi kebutuhan dalam teori Maslow, kebutuhan dikelompokkan menjadi utilitarian dan hedonic. Kebutuhan utilitarian  berusaha untuk mencapai manfaat praktis sebuah produk. Kebutuhan seperti ini dicirikan dengan functional product attributes (seperti tahan lama, nilai ekonomis dan warmth) yang mendefinisikan produk tersebut. Sedangkan kebutuhan hedonic mencari kesenangan (pleasure) dari sebuah produk. Kebutuhan ini lebih dihubungkan dengan emosi atau fantasi yang diperoleh oleh konsumen dari sebuah produk. Dalam memenuhi kebutuhan hedonic ini konsumen sering menggunakan emosi dari pada kebutuhan utilitarian dalam mengevaluasi sebuah merek (Assael, 2001).
Menurut Chandon et al., (2000) ada enam benefit berbeda dari promosi penjualan yang diperoleh oleh konsumen yaitu saving, quality, convenience, entertainment, exploration dan self expression. Tiga benefit yang pertama yaitu saving, quality dan convenience merupakan benefit dari fungsi utilitarian sedangkan entertainment, exploration dan self expression merupakan benefit dari fungsi hedonik. Sehingga ketika konsumen mengevaluasi sebuah produk yang diberikan promosi penjualan maka mereka akan menilai berdasarkan fungsi utilitarian dan fungsi hedonik tersebut. Dan Chandon et al., (2000) juga telah memperlihatkan bahwa ke enam benefit tersebut telah menjadi prediktor yang signifikan bagi konsumen dalam mengevaluasi promosi moneter dan promosi non moneter. Hasil studi mereka menyatakan bahwa promosi moneter dievaluasi berdasarkan fungsi utilitarian sementara promosi non moneter di evaluasi berdasarkan hedonic benefit yang mereka dapatkan. Walaupun hasil dari studi Chandon et al., (2000) didukung oleh beberapa studi dari peneliti lain tetapi dari hasil studi yang dilakukan oleh Vidal dan Ballester (2005) menyatakan hal yang agak berbeda yaitu promosi moneter memang efektif untuk produk utilitarian tetapi promosi non moneter tidak hanya efektif untuk produk hedonik tetapi juga untuk produk utilitarian. Dan hasil ini sesuai dengan praktek yang ada di industri. Ini dikarenakan dalam studi yang dilakukan oleh Chandon et al., (2000) hanya menggunakan jenis promosi non moneter pada produk hedonik sedangkan untuk promosi moneter tidak digunakan pada produk hedonik.

Hipotesis
Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran diatas maka bunyi hipotesis terhadap penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
H1a:   Promosi moneter dan promosi non moneter memiliki pengaruh berbeda pada  dimensi ekuitas  merek yaitu perceived quality yang dilakukan pada produk utilitarian.
H1b:     Promosi moneter dan promosi non moneter memiliki pengaruh berbeda  pada dimensi ekuitas merek yaitu brand loyalty yang dilakukan pada produk utilitarian.
H1c:   Promosi moneter dan promosi non moneter memiliki pengaruh berbeda  pada dimensi ekuitas merek yaitu brand image yang dilakukan pada produk utilitarian.
H2a:  Promosi moneter dan promosi non moneter memiliki pengaruh berbeda pada      dimensi ekuitas merek    yaitu     perceived quality yang dilakukan pada produk hedonik.
H2b:     Promosi moneter dan promosi non moneter memiliki pengaruh berbeda pada dimensi ekuitas merek yaitu brand loyalty yang dilakukan pada produk    hedonik.
H2c:      Promosi moneter dan promosi non moneter memiliki pengaruh berbeda pada dimensi ekuitas merek yaitu brand image ketika dilakukan pada produk hedonik.

 Model Penelitian
Gambar 2.1.
Model Konseptual Penelitian
                                                                                           Brand Equity


 





    
                                                                    

           





Sumber: dimodifikasi dari Vidal dan Ballester (2005): Ramos dan Franco (2005); Yoo et al., (2000): Chandon et al., (2000)

Desain penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimen (experimental design). Desain eksperimen merupakan sekumpulan prosedur yang mengarahkan sebuah penelitian eksperimen dengan melakukan hal-hal yang spesifik seperti variabel independen apa yang harus dimanipulasi, variabel dependen yang mana yang harus diukur, level of treatment yang mana yang akan  digunakan, bagaimana memilih test unit dan menyusun test unit tersebut dalam kelompok yang berbeda, bagaimana melakukan kontrol untuk selection bias, dan bagaimana meminimalkan pengaruh dari extraneous variable terhadap hasil eksperimen (Aaker et al., 2003). Desain eksperimen merupakan desain penelitian yang paling tepat dalam menjelaskan hubungan dalam studi ini. Menurut Neuman (2000), desain eksperimen merupakan desain penelitian yang terkuat dalam menguji hubungan kausalitas yang dikarenakan oleh tiga kondisi yang ada dalam hubungan kausalitas (conditions for causality) yaitu temporal order yaitu harus ada penyebab sebelum ada akibat, association yaitu akibat yang timbul tersebut dikarenakan ada asosiasi yang kuat dengan penyebab atau disebut juga dengan cocomittan variation (dua variabel yang berubah secara bersamaan) dalam studi ini dilakukan dengan memberikan manipulasi, dan eliminating alternativef yaitu hubungan tersebut terjadi dikarenakan oleh penyebab tersebut bukan oleh faktor yang lain, dengan melakukan kontrol. Dalam studi ini kontrol dilakukan pada brosur-brosur bentuk promosi penjualan, pada setiap brosur hanya terdiri dari satu merek produk yang dimanipulasi saja sehingga partisipan fokus dan dapat mengingat dengan mudah merek produk tersebut dan bentuk promosi yang sedang ditawarkan. Kontrol yang dilakukan ini memang dapat mengancam validitas eksternal yaitu berhubungan dengan realism (keadaan yang tidak realistis). Karena pada kenyataannya, brosur-brosur yang berisi merek produk yang sedang diberikan promosi penjualan biasanya terdiri dari berbagai merek tidak hanya satu merek.
Kategori desain eksperimen yang digunakan adalah laboratorium experiment. Lab experiment digunakan ketika eksperimen yang dilakukan tersebut berada dalam lingkungan buatan atau diatur (Sekaran, 2003). Jenis desain eksperimen yang digunakan adalah statistical experimental-completely randomized design. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam penelitian ini terdapat dua variabel independen yaitu promosi penjualan dan jenis produk. Dalam desain eksperimen, variabel yang diberikan manipulasi adalah variabel independen, dalam penelitian ini yaitu promosi penjualan dan jenis produk. Sehingga Level of treatment pada variabel promosi penjualan dilakukan pada bentuk-bentuk promosi penjualan yaitu discount dan bonus pack untuk promosi moneter, dan premium untuk promosi non moneter. Sedangkan pada jenis produk, level of treatment dilakukan pada dua jenis produk yaitu produk hedonik dan utilitarian. Sehingga desain eksperimen 3x2 between subject factorial design dilakukan dengan faktor pertama bonus pack, discount, premium dan faktor kedua adalah jenis produk yaitu utilitarian dan hedonik. Pemilihan between subject dilakukan untuk menghindari testing effect. Setiap partisipan hanya diberikan kesempatan sekali dalam eksperimen. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan bias respon yang dikarenakan oleh faktor pengalaman dalam pengisian respon eksperimen yang pertama (learning effect) sehingga validitas internal tetap terjaga. Validitas internal adalah kemampuan untuk mengeliminasi eksplanasi-eksplanasi alternatif dari variabel dependen. Validitas internal menghilangkan variabel-variabel lain selain variabel yang ditreatment dengan melakukan kontrol. Sehingga dengan melakukan between subject diharapkan dapat meminimalkan bias. 
Sehingga dapat dinotasikan sebagai berikut:
Untuk Produk utilitarian:
            EG1     R          (X1      O1)
            ---------------------------------
            EG2     R          (X2      O2)
            ---------------------------------
            EG3     R          (X3      O3)
Untuk produk hedonik:
            EG4     R          (X1      O1)
            ---------------------------------
            EG5     R          (X2      O2)
            --------------------------------
            EG6     R          (X3      O3)

Notasi EG1 adalah experimental grup 1, EG2 adalah eksperimental grup 2, EG3 adalah eksperimental grup 3, EG4 adalah eksperimental grup 4, EG5 adalah eksperimental grup 5 dan EG6 adalah eksperimental grup 6. R adalah randomization (subyek yang ditempatkan secara acak/random. X1 adalah exposure 1 (subyek yang diperlihatkan treatment 1, treatment 2 dan treatment 3). X2 adalah exposure 2 (subyek yang diperlihatkan treatment 1, treatment 2 dan treatment 3). O1, O2 dan O3 adalah measurement 1, measurement 2, measurement 3 (respon subyek terhadap treatment yang diukur dengan memberikan kuesioner yang diisi sendiri (self administered questioner) setelah diberikan treatment.
Kemudian dalam desain ini  diberikan treatment berupa brosur yang memperlihatkan gambar produk susu dan coklat yang sedang diberikan promosi berupa discount, bonus pack dan premium (paper and pencil experiment).  Penelitian dirancang untuk memperoleh data tentang persepsi konsumen terhadap ekuitas merek akibat bentuk-bentuk promosi tersebut. Partisipan dikelompokkan dalam enam kelompok secara acak dan semuanya mendapatkan treatment yang berbeda (between subjects).

Prosedur penetapan subyek eksperimen/partisipan
Dalam penelitian ini diambil partisipan sebanyak seratus dua puluh orang mahasiswa dari Magister Sains Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, dengan rentang usia 20 tahun sampai dengan 35 tahun. Mereka dianggap mempunyai karakteristik dan perilaku yang sama. Kemudian seratus dua puluh mahasiswa yang menjadi partisipan tersebut dibagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pertama yang terdiri dari enam puluh partsisipan untuk merespon promosi pada produk utilitarian, yang dibagi lagi menjadi tiga kelompok yaitu duapuluh partisipan untuk merespon discount, dua puluh partisipan merespon bonus pack dan dua puluh partisipan merespon bentuk promosi premium. Kemudian kelompok kedua juga terdiri dari enam puluh partisipan untuk merespon promosi pada produk hedonik, yang dibagi lagi menjadi tiga kelompok yaitu dua puluh partisipan  merespon bentuk promosi discount, dua puluh orang merespon bentuk promosi bonus pack dan dua puluh partisipan merespon bentuk promosi premium. Setiap partisipan diberikan treatment yang berbeda yaitu masing-masing diperlihatkan satu brosur yang menggambarkan produk susu kalsium dan coklat batang yang sedang diberikan promosi yaitu brosur produk yang sedang diberikan potongan harga (discount), brosur produk dengan promosi bonus pack dan brosur produk dengan promosi premium.
Homogenitas antar kelompok dilihat berdasarkan jenis kelamin dan umur, serta tingkat pendidikan yang diharapkan dapat memberikan respons yang sama terhadap promosi yang ditawarkan.

 Pemilihan produk  (preliminary study)
Untuk memperoleh persepsi yang sama tentang apakah sebuah produk berada  pada kelompok utilitarian ataupun hedonik, peneliti melakukan focus group discussion dengan beberapa orang mahasiswa MSi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.  Beberapa jenis produk yang dipilih yaitu susu, soft drink, coklat, shampoo, parfum dan sabun cair. Dari hasil focus group discussion tersebut disimpulkan susu kalsium untuk produk utilitarian dan coklat batang untuk produk hedonik. Alasan mengapa kedua jenis produk tersebut yang dipilih, karena kedua produk tersebut termasuk dalam jenis grocery product yang sering menggunakan ketiga jenis promosi tersebut untuk meningkatkan penjualan.


Cek manipulasi  
Setelah pemilihan produk dilakukan melalui focus group discussion yang memilih coklat batang sebagai produk yang mempunyai sifat hedonik dan susu kalsium mempunyai sifat utilitarian, selanjutnya dilakukan cek manipulasi (manipulation check) pada tiga puluh empat orang partisipan yang tidak menjadi partisipan utama dalam studi ini. Cek manipulasi dilakukan untuk menentukan apakah kedua produk tersebut masing-masing berada pada kelompok hedonik dan utilitarian. Untuk mengukur apakah kedua produk tersebut memiliki sifat hedonik atau utilitarian dilakukan dengan menggunakan uji beda t (t-test). Cek manipulasi dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sama pada kedua produk (susu dan coklat), untuk melihat apakah kedua produk tersebut mempuyai sifat utilitarian atau hedonik.
 Dari hasil uji beda t diketahui produk susu mempunyai sifat utilitarian, ini dapat dilihat dari nilai meanutilitarian  (4,6863) yang lebih besar dari nilai meanhedonik (1,3725), nilai perbedaan rata-rata (mean differences) 3,31373 dengan signifikansi 0,000 yang signifikan pada p<0,05. Dan produk coklat mempunyai sifat hedonik, ini dapat dilihat dari nilai meanhedonik =4,1373 yang lebih besar dari nilai meanutilitarian=1,9216, nilai perbedaan rata (mean differences) -2,21569 dengan signifikansi 0,000 yang signifikan pada p<0,05.
Sedangkan untuk mengukur kesetaraan nilai promosi, peneliti menggunakan distribusi frekuensi untuk melihat seberapa banyak partisipan yang memilih dan mempersepsikan bahwa ketiga nilai promosi tersebut setara. Adapun nilai-nilai untuk masing-masing promosi adalah untuk produk susu kalsium bonus pack atau ekstra isi sebesar 25 % atau 125 gr, mug dan potongan harga sebesar Rp 10.000. Sedangkan untuk produk coklat batang adalah ekstra isi 25 % atau isi lebih banyak 8 batang, potongan harga sebesar Rp 10.000 serta sebuah liontin.
Hasil uji kesetaraan nilai ketiga jenis promosi untuk susu adalah dari 30 orang partisipan diketahui 20 orang (66,7 %) menyatakan setara, 2 orang (6,7 %) menyatakan sangat setara, 4 orang (13,3 %) menyatakan agak setara dan 4 orang (13,3 %) menyatakan tidak setara.
Sedangkan pengujian kesetaraan nilai ketiga promosi untuk produk coklat diketahui 19 orang (63,3 %) menyatakan ketiga jenis promosi tersebut mempunyai nilai yang setara, 7 orang (23,3 %) menyatakan agak setara dan 4 orang (13,3 %) menyatakan tidak setara.
Sehingga dari hasil pengujian tersebut peneliti mengambil kesimpulan bahwa ketiga nilai promosi untuk kedua produk tersebut mempunyai nilai setara.

Prosedur eksperimen
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan mahasiswa Magister Sains Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Treatment berupa brosur yang memperlihatkan gambar produk susu kalsium ukuran 500 gram dan coklat batang ukuran 125 gr dengan merek yang tidak dikenal oleh partisipan dan sebuah kuesioner yang diisi langsung oleh partisipan setelah mendapatkan perlakuan tersebut. Setiap brosur memperlihatkan gambaran jenis promosi yang berbeda yaitu brosur tentang produk susu yang sedang diberikan promosi harga (discount), produk susu  dengan promosi bonus pack dan produk susu yang memberikan hadiah untuk setiap pembelian (premium). Untuk produk coklat batang dilakukan hal yang sama yaitu partisipan diperlihatkan brosur  yang menggambarkan merek coklat yang sedang didiskon, merek coklat dengan promosi bonus pack dan  merek coklat dengan promosi premium. Setiap partisipan diberikan treatment yang berbeda. Pertama-tama partisipan diberi waktu untuk melihat brosur tersebut, setelah itu diminta untuk mengisi kuesioner. Dan jika ada yang tidak jelas maka peneliti akan membantu menjelaskan hal-hal yang ingin diketahui oleh partisipan.

Instrumen dan Skala Pengukuran
Dalam suatu penelitian dibutuhkan instrumen penelitian yang valid dan reliabel. Instrumen tersebut dapat dikembangkan oleh peneliti ataupun diadopsi dari peneliti sebelumnya. Instrumen dalam penelitian ini mengadopsi  penelitian sebelumnya yang kemudian dimodifikasi oleh peneliti.
Kuesioner yang digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dikelompokkan dalam satu konstruk yaitu ekuitas merek yang kemudian dipecahkan menjadi beberapa dimensi yaitu perceived quality,  brand image, brand loyalty.
Skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur ekuitas merek adalah skala Likert yang dikembangkan oleh  Yoo dan Donthu (2001) yang menyatakan sikap dari sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju (skala 1-5). Sedangkan untuk variabel independen yaitu promosi non moneter dan promosi moneter serta jenis produk (hedonik dan utilitarian) digunakan skala nominal. Yaitu mengelompokkan  jenis-jenis promosi tersebut menjadi tiga kelompok dan jenis produk menjadi dua kelompok.

Uji Validitas dan Reliabilitas
Pengujian validitas dilakukan untuk mengetahui kemampuan instrumen dalam mengukur variabel penelitian. Pengukuran secara kualitatif dengan menggunakan face validity dan content validity. Pengukuran secara kualitatif dilakukan dengan pertimbangan expert judgment. Sedangkan pengukuran secara kuantitatif dilakukan dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA).
Pengujian reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana konsistensi suatu alat ukur. Reliabilitas merupakan syarat tercapainya validitas kuesioner dengan tujuan dapat menggambarkan fenomena-fenomena yang ada dalam sebuah konstruk dan dapat digunakan kembali untuk mengukur variabel yang sama.. Reliabilitas instrumen kuesioner diuji dengan menggunakan Cronbach’s Alpha.

Metode Analisis Data
Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini digunakan analysis of variance (ANOVA). ANOVA digunakan  untuk menganalisis perbedaan antara dua atau lebih jumlah grup (Hair et al., 2006). Untuk menguji semua hipotesis diatas  digunakan One Way ANOVA.

Uji Validitas
Berdasarkan hasil analisis faktor pada produk utilitarian ada lima item pertanyaan yang harus dikeluarkan karena mengelompok di dua faktor, yang selanjutnya dijadikan dasar untuk melakukan uji reliabilitas. Dan dari hasil analisis faktor pada produk hedonik ada enam item pertanyaan yang harus dikeluarkan karena mengelompok di dua faktor. Yang kemudian hasil uji validitas ini dijadikan dasar untuk menguji reliabilitas. Pada produk hedonik, dimensi brand loyalty tidak dapat dilakukan uji reliabilitas karena hanya terdiri dari satu item. Sedangkan untuk menguji reliabilitas harus multi item.

Uji Reliabilitas
Berikut ini adalah tabel pengujian reliabilitas ekuitas merek produk hedonik dan produk utilitarian.
Tabel 1: Cronbach’s Alpha Ekuitas Merek Produk Utilitarian
Variabel
Jumlah item dalam kuesioner
Jumlah item yang digunakan
Cronbach’s Alpha
Perceived Quality
4 item
3 item
0,753
Brand Loyalty
4 item
2 item
0,653
Brand Image
4 item
2 item
0,819

Tabel 2: Cronbach’s Alpha Ekuitas Merek Produk Hedonik
Variabel
Jumlah item dalam kuesioner
Jumlah item yang digunakan
Cronbach’s Alpha
Perceived Quality
4 item
2 item
0,752
Brand Loyalty
4 item
1 item
-
Brand Image
4 item
2 item
0,85



Analisis ANOVA
Secara ringkas hasil analisis dengan menggunakan One Way Anova untuk menguji hipotesis tersaji diberikut ini:
Tabel 3: Hasil Pengujian Homogenitas pada Produk Utilitarian
Ekuitas Merek
Levene’s test equality
of variance



PQ
BL
BI
F                              Sig.

2,109                        0,131
  0,342                        0,712
0,385                        0,682

Tabel 4: Hasil Pengujian Anova Produk Utilitarian


Koefisien


Hipotesis

F
Adjusted R²
 Î±
Sig

Perceived Quality
1,575
0,019
0,216
0,05
H1a ditolak
Brand Loyalty
3,909
0,090
0,026
0,05
H1b ditolak
Brand Image
1,211
0,007
0,305
0,05
H1c ditolak

Tabel 5: Hasil Pengujian Homogenitas pada Produk Hedonik
Ekuitas Merek
Levene’s test equality
of variance



PQ
BL
BI
F                              Sig.

0,756                        0,474
2,045                        0,139
1,528                        0,226

Tabel 6: Hasil Pengujian Anova Produk Hedonik


Koefisien


Hipotesis

F
Adjusted R²
α
Sig

Perceived Quality
3,219
0,070
0,047
0,05
H2a diterima
Brand Loyalty
2,102
0,036
0,132
0,05
H2b ditolak
Brand Image
0,814
-0,006
0,448
0,05
H2c ditolak

Hasil pengujian hipotesis H1a, H1b dan H1c  pada produk utilitarian semuanya ditolak. Tidak ada perbedaan pengaruh antara promosi moneter dan non moneter pada ekuitas pada produk utilitarian. Demikian juga halnya pada produk hedonik, dari tiga hipotesis yang diajukan yaitu H2a, H2b dan H2c hanya hipotesis H2a  yang diterima. Tetapi hipotesis H2a  tidak sepenuhnya dapat diterima karena perbedaan pengaruh hanya terjadi antara bonus pack dengan premium. Ini dikarenakan nilai promosi yang ditawarkan masih dalam batas kewajaran (latitude of acceptance).
Penolakan hipotesis H1a, H1b, H1c,  H2b dan H2c  sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Vidal dan Ballaster (2005) yang menyatakan bahwa ke dua jenis promosi tersebut dapat digunakan pada dua jenis produk yaitu produk utilitarian dan produk hedonik. Tetapi dalam study yang dilakukan oleh Vidal dan Ballaster (2005) hanya menggunakan satu jenis promosi moneter saja yaitu discount sedangkan dalam penelitian ini peneliti memasukkan dua jenis promosi moneter yaitu discount dan bonus pack. Walaupun hasil penelitian ini agak bertentangan dengan studi yang dilakukan Chandon et al., (2000) yang menyatakan promosi moneter lebih efektif pada produk utilitarian dan promosi non moneter lebih efektif pada produk hedonik, tetapi kedua jenis promosi efektif pada produk utilitarian. Ini dikarenakan Chandon et al., (2000) tidak menggunakan jenis promosi  moneter saja  pada produk hedonik hanya menggunakan satu jenis promosi saja yaitu promosi non moneter. Dan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti  sesuai dengan fakta yang terjadi di pasar. Hampir kebanyakan retail menggunakan kedua jenis promosi ini pada produk yang mereka jual. Ini juga konsisten dengan hasil observasi yang peneliti lakukan di beberapa supermarket di Yogyakarta.
Kedua jenis promosi yaitu promosi moneter dan moneter pada intinya tidak memiliki perbedaan pengaruh pada dimensi perceived quality baik itu pada produk utilitarian ataupun hedonik jika dilakukan pada merek produk baru. Karena promosi-promosi ini yaitu discount, bonus pack dan premium jika tidak dilakukan dalam waktu yang lama dan tepat dapat meningkatkan penjualan. Partisipan mungkin tidak mempunyai persepsi yang berbeda pada dua jenis promosi ini dikarenakan merek yang ditawarkan dalam promosi ini adalah merek baru dan nilai promosi yang ditawarkan masih dalam kewajaran (latitude of acceptance) sehingga mereka tidak melihat adanya perbedaan pengaruh. Ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Campbell dan Diamond (1990) bahwa nilai promosi yang ditawarkan tidak boleh menimbulkan kecurigaan bagi konsumen. Walaupun terdapat perbedaan pengaruh diantara ke tiga jenis promosi tersebut yaitu antara bonus pack dengan discount pada brand loyalty pada produk utilitarian, dan premium dengan bonus pack pada perceived quality pada produk hedonik mungkin dikarenakan setting penelitian ini. Pada produk hedonik perbedaan pengaruh jenis promosi pada perceived quality karena partisipan tidak pernah mencoba merek tersebut. Sehingga ketika dia melihat promosi bonus pack dia memiliki persepsi yang berbeda dengan kedua jenis promosi yang lain. Karena dalam Anova perbedaan pengaruh tersebut tidak dapat dilihat bentuknya negatif atau positif.
Promosi penjualan dikuatirkan akan menurunkan citra brand image tetapi pada kenyataanya promosi penjualan juga dapat membangun brand image jika promosi yang ditawarkan menarik bagi konsumen. Seperti yang dinyatakan oleh Liao (2006) pemilihan jenis promosi yang tepat khususnya promosi non moneter dapat meningkatkan brand image. Tetapi jika promosi tersebut dilakukan pada produk yang memiliki high equity brand jenis promosi seperti promosi moneter dapat membahayakan image dari merek tersebut. Berbeda dengan promosi non moneter yang malah dapat meningkatkan brand image (Vidal dan Ballaster, 2005). Sehingga sebelum promosi dilakukan harus dipertimbangkan kedudukan sebuah merek.  Tetapi karena setting penelitian ini adalah merek baru dan otomatis belum dikenal sehingga kedua jenis promosi tersebut tidak memiliki pengaruh berbeda pada brand image baik itu pada produk utilitarian ataupun produk hedonik.
Menurut Aaker (1996) dalam Sriram et al., (2007) walaupun promosi dapat membahayakan tetapi juga dapat mendukung ekuitas merek karena learning theory menyatakan pembentukan konsumen perilaku konsumen dapat membawa pada attitudinal loyalty. Ini sesuai dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa promosi moneter dan promosi non moneter pada produk utilitarian tidak mempunyai pengaruh berbeda pada brand loyalty. Jenis-jenis promosi membuat konsumen ingin mencoba merek baru tersebut walaupun hal ini dapat menimbulkan bahaya bagi merek produk yang lain (brand swicthing) tetapi untuk merek baru kedua jenis promosi ini dapat membawa pada attitudinal loyalty. Terlebih lagi jika promosi yang ditawarkan khususnya jenis promosi non moneter berhubungan dengan jenis produk yang ditawarkan (Liao, 2006). Namun terdapat perbedaan pengaruh antara kedua jenis promosi moneter yaitu discount dan bonus pack pada brand loyalty ini mungkin dikarenakan pada saat  partisipan melihat jenis promosi discount ada keinginan partisipan untuk membeli karena potongan harga yang menurutnya relatif menarik tetapi tidak demikian halnya dengan bonus pack, ekstra isi yang ditawarkan tidak membuatnya ingin membeli produk tersebut karena dia memang belum pernah mengkonsumsinya (karena loyalitas yang dilihat dalam konsteks ini adalah attitudinal loyalty). Dan ini juga dikarenakan oleh setting penelitian yang mengambil objek yang belum pernah dikenal oleh partisipan.

Promosi penjualan yaitu promosi moneter dan non moneter dapat digunakan pada ke dua jenis produk yaitu produk utilitarian dan produk hedonik selama nilai promosi-promosi tersebut masih berada dalam batas kewajaran. Sehingga konsumen tidak curiga. Tetapi sebelum pemasar memutuskan untuk menggunakan jenis-jenis promosi tersebut, pemasar harus memikirkan terlebih dahulu tujuan dari promosi yang ingin digunakan sehingga dapat memilih jenis promosi yang tepat. Seperti yang dinyatakan oleh Chandon at el., (2000) sebelum menentukan jenis promosi harus memperhatikan jenis produk karena dapat membahayakan ekuitas merek. Hasil dari penelitian diatas konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Vidal dan Ballaster (2005) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh di antara kedua jenis promosi tersebut..
Tetapi meskipun demikian untuk menjaga agar citra sebuah merek tidak menurun Vidal dan Ballaster (2005) tidak menyarankan untuk terlalu sering menggunakan promosi moneter pada produk hedonik karena setiap konsumen mempunyai persepsi yang bebeda-beda. Dan ini konsisten dengan studi yang telah dilakukan oleh Yoo et al., (2000 ) serta Ramos dan Franco (2005) yang menemukan bahwa promosi moneter memiliki hubungan negatif dengan perceived quality dan brand image. Tetapi studi yang telah dilakukan oleh para peneliti tersebut tidak  membedakan jenis dan kategori produk. Dalam studi yang dilakukan oleh Ramos dan Franco (2005), mereka menggunakan produk mesin cuci dengan merek yang telah dikenal oleh konsumen. Karena itu setting penelitian sangat mempengaruhi hasil  penelitian.

Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yaitu, yang pertama desain penelitian yang digunakan adalah lab eksperimen sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasi. Karena desain eksperimen sangat mengontrol validitas internal sehingga tidak menguji variabel-variabel lain yang mungkin mempengaruhi di luar variabel yang dikontrol dan hasil penelitian ini juga tidak dapat digeneralisir pada jenis produk yang lain hanya pada jenis produk susu dan coklat saja. Kedua, penelitian ini dilakukan dalam waktu yang relatif singkat (cross sectional study), padahal untuk melihat pengaruh promosi penjualan pada ekuitas merek sebaiknya dilakukan dalam waktu yang lebih lama untuk melihat efeknya (longitudinal study). Ketiga, jumlah partisipan sangat terbatas hanya pada mahasiswa Msi Fakultas Ekonomi UGM saja, sehingga hasil penelitian ini hanya didasarkan pada persepsi sebagian mahasiswa saja. Keempat, setting penelitian ini adalah mengenalkan merek produk baru sehingga partisipan tidak mempunyai brand knowledge tentang merek produk tersebut sehingga pada dimensi brand loyalty pada produk hedonik mereka tidak mempunyai persepsi positif pada merek produk tersebut.

Implikasi bagi Pemasar
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pelaku pasar dari hasil penelitian ini ketika hendak melakukan promosi penjualan diantaranya pertama, sebelum melakukan promosi penjualan pemasar harus mempertimbangkan waktu yang tepat untuk promosi dan juga jenis promosi yang digunakan. Walaupun hasil penelitian ini menyatakan tidak ada perbedaan pengaruh antara promosi moneter dan moneter tetapi jika promosi tersebut dilakukan dalam waktu yang lama dapat membahayakan ekuitas merek. Kedua, sebelum menentukan jenis promosi yang digunakan, pemasar juga harus mempertimbangkan sifat  produk. Karena bagaimanapun promosi moneter lebih menarik bagi konsumen jika dilakukan pada produk utilitarian. Dan promosi non moneter lebih sesuai untuk produk hedonik (Vidal dan Ballaster, 2005). Tetapi ini terjadi jika kondisi ekuitas merek produk tersebut tinggi. Berbeda dengan produk baru yang belum mempunyai ekuitas merek tinggi. Ketiga, selain itu, pemasar juga harus memperhatikan bentuk promosi dan tujuan  pemberian promosi tersebut. Karena jenis-jenis promosi tersebut mempunyai pengaruh berbeda pada ekuitas merek sebuah produk. Untuk merek produk baru, promosi seperti potongan harga dan premium (hadiah) dapat menarik konsumen untuk mencoba produk tersebut dan mereka dapat mengenali merek produk yang memberikan hadiah menarik dengan mudah. Dan keempat, sebaiknya pelaku pasar tidak hanya melakukan satu jenis aktivitas komunikasi pemasaran seperti promosi penjualan saja tetapi juga melakukan bentuk-bentuk komunikasi pemasaran lainnya seperti periklanan (melakukan komunikasi pemasaran terpadu) karena untuk dimensi ekuitas merek seperti brand image pada merek produk baru lebih baik jika didukung oleh iklan. Sehingga promosi dapat berjalan lancar.

Implikasi bagi penelitian yang akan datang
Berdasarkan beberapa keterbatasan dalam penelitian ini maka untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan beberapa hal. Pertama, untuk menambah jumlah partisipan lebih besar lagi. Sehingga pengujian reliabilitas pada dimensi brand loyalty pada produk hedonik dapat dilakukan. Kedua, sebaiknya penelitian untuk selanjutnya memastikan apakah si partisipan dapat membedakan terlebih dahulu  kedua jenis promosi moneter tersebut  yaitu discount dan bonus pack. Karena walaupun kedua jenis promosi moneter ini mempunyai tujuan yang sama yaitu agar konsumen mau mencoba untuk menggunakan sebuah merek produk, mengubah pencoba menjadi pengguna, membujuk pembelian yang lebih besar (stockpilling) dan merangsang pembelian yang tidak direncanakan (Crask et al., 1995) ternyata memiliki pengaruh berbeda pada dimensi-dimensi ekuitas merek.

Aaker, David. Kumar, V. Day, S.George. (2004). Marketing Research. 8th ed., New York, John Wiley & Sons, Inc.

Assael, H. (2001). Consumer Behavior and Marketing Action. 6th ed., Cincinnati, OH: South-Western College Publishing.

Cooper, Donald R dan Schindler, Pamela S. (2003). Business Research Methods. 8th ed,. New York: The Mc Graw-Hill.

Campbell, Leland and Diamond, D.William (1990), “Framing and Sales Promotions: The characteristic of A “Good deal.” The Journal of Consumer Marketing, Vol 7, No 4.

Chandon, Pierre. Wansink, Brian. Laurent, Gilles (2000), “A Benefit Congruency Framework of Sales Promotion Effectiveness.” Journal of Marketing, Vol 64, pp 65-81.

Crask, Melvin and   Fox, Richard J and  Stout, Roy G (1995). Marketing Research: Principles and Applications. 3th ed. New Jersey. Prentice Hall Englewoods Cliffs.

Diamond, D.William and Johnson, R.Robert (1990),”The Framing of Sales promotions: An approach to Classification,” Advances in Consumer Research, Vol 17.

Fitzgibbon, C. and White, L. (2005), “The Role of Attitudinal Loyalty in The Development of Customer Relationship Management Strategy Within Service Firms,” Journal of Financial Service Marketing, Vol. 9, No. 3, pp. 214-230.

Hair, J. Joseph and Black, C. William and Babin, J. Barry and Anderson, E. Rolph and Tatham, L. Ronald (2006).  Multivariate Data Analysis. 6th ed. New Jersey, Pearson Education International.

Jones, Philip. John (1990), “The Double Jeopardy of Sales Promotions,” Harvard Business Review, pp. 145-152.

Jones, M.Joseph (2005),”Examinations of Relatedness between Direct Consumer Premiums and Promoted Products: Assessing Impact in Different Time Periods,” Advances in Consumer Research, Vol.32, pp.482-483.

Kotler, P and K. Keller (2006). Marketing Management. 12 th ed. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.

Leclerc, France. (1997), “Monetary Promotion vs. Non-Monetary Promotion, Which Is More Effective?” Advances  in Consumer Research, Vol 24, pp.220-221.

Liao, Shu-ling. (2006), “The Effects of Non monetary Sales Promotion on Consumer Preferences: The Contingent Role of Product Category,” The Journal of American Academy of Business,  Vol. 8, No 2, pp.196-203.

Neuman, W. Lawrence (2000), Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, A Pearson Education Company

Purwanto, BM. (2002), “The Effect os Salesperson Stress Factors on Job Performance.” Journal of Indonesian Economy and Business, Vol. 17, No.2, pp. 150-169.

Ramos, Angel F.Villarejo and Franco, Manuel J.Shancez (2005), “The Impact of Marketing Communication and Price Promotion on Brand Equity,” Brand Management, Vol 12, No 6, pp. 431-444.

Rothschild, L Michael, “A Behavioral View of Promotion Effects on Brand Loyalty,” University of Wisconsin, pp 119-120.

Soo Ong, Beng ; Nin Ho, Foo ; Tripp, Carolyn (1997),” Consumer Perceptions of Bonus Packs: An Exploratory Analysis,” Journal of Consumer Marketing. Vol 14, No, pp.102-112.

Soo Ong, Beng (1999), “Determinants of Purchase Intentions and Stock-pilling Tendency of Bonus Packs, ”American Business Review, January, pp. 57-64.

Soo Ong, Beng ; Guerreiro, Reinaldo ; Santos, dos Ariovaldo ; SilveiraGisbrecth, Jose Agusto (2004), “Cost Implications of Bonus Pack promotions versus Price discounts,” American Business Review, June, pp 72-81.
Sriram, S and Balachander, Subramanian and Kalwani, U. Manohar (2007), “Monitoring the Dynamics of Brand Equity Using Store-Level Data,” Journal of Marketing. Vol 71, pp. 61-78.

Vidal, Mariola Palazon and Ballester, Elena Delgado (2005), “Sales Promotion Effects on Consumer-Based Brand Equity,” International Journal of Market Research, Vol 47, Issue 2, pp.179-204.

Yoo, Booghee and Dongthu, Naveen and Lee, Sungho (2000),”An Examination of Selected Marketing Mix Elements and Brand Equity,” Journal of the Academy of Marketing Science. Vol 28, No 2, pages 195-211.


SENSI DAN DAMPAK LIBERALISASI  PERDAGANGAN

Faisal, SE.Ak 
dan
Wahyuddin, SE.Ak2

Abstract

As one of the traded goods and important sub-sectors in Indonesia, estate-crop sub-sector cannot avoid various strategic business environment changes, mainly related to trade liberalization issues. These changes have been perceived to have significant impacts on the sub-sector.  In line with this issue, the main objective of this paper is to assess the likely impacts of trade liberalization with emphasizing on the Indonesian estate crops sub-sector.        
The results of the study indicates that impacts of the trade liberalization on the sub-sector in the international markets have been varied, due to the different level of market distortions, level of commitments to reduce distortion, and consistency in implementing the commitments. In general, trade liberalization is expected to lift international prices, while the impacts on production, consumption, and trade have been varied, depending on the crops and countries. Moreover, Indonesia estate crops sub-sector will benefit from this trade liberalization if some conditions to promote efficiency and to fair trade in international market could be realized.

Key words: Essence and Impact, Trade Liberalization, Estate-Crop Sub-Sector,
Strategic Business Environment

PENDAHULUAN
                Perkebunan memegang peranan penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja/pendapatan, devisa negara, dan pertumbuhan ekonomi. Pada saat ini subsektor perkebunan diperkirakan menjadi sumber penghidupan bagi 17,1 juta tenaga kerja. Sebagai penghasil devisa, nilai ekspor perkebunan pada lima tahun terakhir adalah sekitar US$ 4 miliar per tahun dan tumbuh sekitar 4%-6% per tahun untuk periode 25 tahun terakhir. Pada tahun 2000, Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan perkebunan (produk primer) berdasarkan harga yang berlaku tercatat sebesar Rp 34,78 trilyun, atau 2,69% dari total PDB yang besarnya mencapai Rp 1290,7 trilyun.
            Salah satu perubahan mendasar yang terjadi di pasar internasional adalah liberalisasi perdagangan untuk sektor pertanian, dimana beberapa produk perkebunan termasuk di dalamnya.  Hal ini ditandai oleh disyahkannya hasil Putaran Uruguay (Uruguay Round) sebagai rangkaian dari general agreement on tariff and trade (GATT) pada tanggal 15 Desember 1993. Keberhasilan putaran tersebut tercapai setelah melalui rangkaian perundingan yang alot dan panjang sejak tahun 1940. Salah satu kekhususan putaran ini adalah dimasukkannya komoditas pertanian dalam agenda perundingan. Dengan perkataan lain, keberhasilan Putaran Uruguay (PU) menyebabkan pemberlakuan sektor pertanian sama dengan sektor lainnya atau sektor pertanian tidak lagi diperlakukan secara eksklusif dalam kerangka GATT. Dengan demikian, distorsi perdagangan produk pertanian diharapkan akan hilang atau menurun sehingga terjadi peningkatan efisiensi dan volume perdagangan produk pertanian.

Liberalisasi perdagangan tersebut diperkirakan akan mempunyai dampak yang signifikan terhadap perkembangan komoditas perkebunan. Besarnya dampak untuk masing-masing komoditas perkebunan tentunya bervariasi tergantung besarnya intervensi pemerintah negara-negara yang terlibat dalam perdagangan komoditas perkebunan.  Sebagai contoh, dampak liberalisasi terhadap minyak nabati, di mana CPO termasuk di dalamnya, diperkirakan akan lebih besar terhadap karet yang relatif tidak banyak mengalami intervensi pemerintah.

            Informasi mengenai besar serta distribusi dampak perdagangan bebas terhadap perkembangan komoditas Indonesia merupakan informasi penting dalam penyusunan kebijakan komoditas perkebunan. Jika leberalisasi perdagangan memberi dampak positif terhadap komoditi tertentu, maka posisi Indonesia dalam negosiasi/perundingan adalah mendorong upaya-upaya penerapan komitmen-komitmen tersebut.  Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan melaksanakan segera komitmen-komitmen Indonesia yang berkaitan dengan komoditas tersebut.  Dengan demikian, Indonesia mempunyai bargaining position yang lebih kuat untuk mendesak negara lain untuk segera melaksanakan komitmennya.
           
Sejalan dengan pentingnya informasi tersebut, maka pada tulisan ini akan diuraikan mengenai esensi dari liberalisasi perdagangan dan dampaknya terhadap komoditas perkebunan.  Uraian mengenai esensi liberalisasi perdagangan, khususnya  komitmen-komitmen yang berkaitan dengan perdagangan PU, dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lebih jelas mengenai makna liberalisasi perdagangan yang sering diterjemahkan sebagai “perdagangan yang bebas”.  Pada bagian selanjutnya, bahasan difokuskan pada dampak secara umum dari liberalisasi perdagangan terhadap industri perkebunan.

                Walaupun sudah menjadi topik bahasan sejak tahun 1940-an, esensi dari liberalisasi perdagangan masih sering dipahami secara kurang proporsional. Perdagangan bebas sering dipersepsikan sebagai suatu sistem perdagangan yang bebas, seperti tarif nol atau rendah, serta peniadaan berbagai instrumen yang berkaitan dengan kebijakan pertanian.  Padahal, berdasarkan sejarahnya, jiwa dari liberalisasi perdagangan adalah suatu tatanan perdagangan yang lebih efisien dan adil (fair). Untuk mencapai hal itu, distorsi perdagangan memang harus diturunkan, tetapi penurunan tersebut hanya sampai tahap yang disepakati, bukan pada titik yang serendah-rendahnya. Di samping itu, aspek keadilan juga menjadi jiwa penting dari liberalisasi perdagangan.  Dalam hal ini, negara-negara yang relatif belum mampu berkompetisi masih diberikan hak melakukan kebijakan protektif, sesuai dengan kesepakatan. Untuk mencapai hal tersebut dan mengingat distorsi perdagangan produk pertanian sudah demikian substansial, berbagai perundingan dilakukan untuk manata kembali sistem perdagangan tersebut.
Masalah perdagangan produk pertanian sepertinya sudah ditakdirkan untuk menjadi biang keladi pertikaian dalam negosiasi GATT. Sejak persiapan Havana Charter (1940) yang merupakan cikal bakal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), sudah tidak ada kesepakatan mengenai bagaimana perdagangan komoditas pertanian harus diperlakukan (Werley 1989). Pertentangan ini kemudian berkelanjutan dalam penyusunan kerangka dasar GATT pada tahun 1947. Sebagian delegasi berpendapat bahwa perdagangan produk pertanian harus bebas sesuai dengan ketentuan GATT dan sebagian lagi  berpendapat bahwa masalah tersebut harus ditata dengan melibatkan negara pengekspor dan pengimpor dan antara negara berkembang dan maju. Berawal dari sini, masalah perdagangan produk pertanian terus menjadi isu sentral pada perundingan GATT selanjutnya yaitu Dillon Round (1960-62), Kennedy- Round (1963-67), Tokyo Round (1973-79), dan Uruguay Round (1986-1993).
Setelah melalui rangkaian perundingan yang alot dan panjang, GATT PU akhirnya ditandatangani pada tanggal 15 Desember 1993.  Salah satu kekhususan putaran ini adalah dimasukkannya komoditas pertanian dalam agenda perundingan. Dengan perkataan lain, keberhasilan PU menyebabkan pemberlakuan sektor pertanian sama dengan sektor lainnya atau sektor pertanian tidak lagi diperlakukan secara eksklusif dalam kerangka GATT. Dengan demikian, distorsi perdagangan produk pertanian diharapkan akan hilang atau menurun sehingga terjadi peningkatan efisiensi dan volume perdagangan produk pertanian.
            Secara garis besar, komitmen-komitmen yang berkaitan dengan industri dan perdagangan Perkebunan mencakup komitmen pada sanitary and phytosanitary measures (sanitasi dan fitosanitasi), domestic support (bantuan domestik), market access (akses pasar), dan export subsidy (subsidi ekspor).  Komitmen tersebut ada yang bersifat umum untuk semua produk pertanian, ada pula yang bersifat khusus untuk produk pertanian tertentu, seperti kakao.
            Komitmen sanitasi dan fitosanitasi terutama ditekankan pada masalah kontaminasi aflatoxin serta standar  ketat yang diterapkan oleh negara pengimpor.  Negara pengimpor diijinkan untuk membuat standar tersendiri sepanjang tidak ada unsur diskriminasi. Di samping itu, standar yang diterapkan diharapkan tidak berlebihan, namun cukup memadai untuk melindungi manusia, binatang, dan tumbuhan (Pasquali, 1995).
            Komitmen yang berhubungan dengan bantuan domestik terutama ditujukan pada negara-negara yang mempunyai kebijakan domestik yang distorsi pasarnya cukup besar.  Sebagai contoh, kebijakan subsidi harga yang pernah diterapkan oleh Pantai Gading tentunya tidak lagi dapat dipertahankan.  Namun demikian, bantuan domestik untuk penelitian dan pengembangan, penyuluhan pertanian, dan pelatihan dapat dikecualikan dari pengurangan bantuan domestik (Departemen Perdagangan, 1994).
            Komitmen bantuan domestik bersifat global untuk komoditas pertanian dan besarnya dukungan (support) tersebut diukur dengan total aggregate measurement of support (AMS).  Untuk negara maju, penurunan dukungan tersebut adalah sebesar 20 persen, sedangkan negara berkembang diharapkan menurunkan 13 persen (Pasquali, 1995).  Karena penurunan tersebut bersifat global, bukan berdasarkan komoditas secara spesifik, maka setiap negara mempunyai keleluasaan dalam menentukan besarnya dukungan untuk setiap komoditasnya.
Dalam hal ini bantuan domestik yang berlaku spesifik untuk kakao untuk negara-negara produsen belum dapat diidentifikasi.  Komitmen akses pasar pada dasarnya terdiri dari tiga hal pokok yaitu tarifikasi (tariffication), penurunan tarif, dan peluang akses pasar (access opportunity).  Dengan tarifikasi, hambatan non-tarif seperti kuota, variable levies, harga minimum, state trading, dan voluntary restraint agreement akan ditiadakan dan diganti dengan sistem tarif.  Dengan sistem tersebut, evaluasi lebih mudah dilaksanakan karena bersifat lebih transparan.  Di samping itu, setiap negara diminta membuat rencana yang lebih spesifik mengenai rencana penurunan tarif untuk setiap komoditas yang dirundingkan (Pasquali, 1995).
            Penurunan tarif untuk produk pertanian secara garis besar dibedakan menjadi dua kelompok yaitu tarif yang umum diterapkan oleh kebanyakan negara (Ad valorem tariffs) dan tarif yang bersifat spesifik.  Penurunan tarif untuk kelompok pertama adalah 16,4 persen dari tarif yang berlaku pada tahun 1995.  Secara lebih rinci, negara berkembang diminta menurunkan tarifnya antara 9-14 persen, sedangkan negara maju antara 21-23 persen.  Negara maju diharapkan dapat mewujudkan komitmen tersebut paling lambat tahun 2000, sedangkan negara berkembang paling lambat pada tahun 2004.  Penurunan tarif spesifik yang proporsi penerapannya sangat terbatas berkisar antara 24-36 persen.
            Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia menjadualkan penurunan tarif impor perkebunan dari sekitar 70-100 persen pada tahun 1995 menjadi sekitar 60-40 persen pada tahun 2004 (Anonim, 1994).  Sebagai contoh, tarif impor kakao biji yang pada tahun 1995 masih 70 persen akan ditutunkan menjadi 40 persen pada tahun 2004.   
Komitmen pengurangan subsidi ekspor dilakukan melalui dua pendekatan yaitu berdasarkan volume ekspor yang disubsidi dan nilai subsidi.  Volume ekspor yang disubsidi ditetapkan sebesar 18 persen dari volume produk pertanian yang diperdagangkan di pasar dunia.  Nilai tersebut relatif besar bila dibandingkan dengan nilai ekses minimum.  Kelompok negara maju mempunyai komitmen penurunan yang relatif lebih besar dibandingkan negara berkembang baik dari segi volume maupun nilai.

                Persepsi umum yang berkembang adalah bahwa liberalisasi perdagangan dan investasi akan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kinerja sektor pertanian.  Untuk sub-sektor perkebunan, persepsi umum tersebut tidak sepenuhnya benar untuk kasus Indonesia, khususnya jika hasil Putaran Uruguay yang dijadikan dasar pijakan.  Dengan perkataan lain, dampak liberalisasi perdagangan pada sub-sektor perkebunan sering over-estimate sehingga muncul kekhawatiran yang berlebihan terhadap liberalisasi perdagangan (implementasi dari hasil Putaran Uruguay).
            Dampak liberalisasi perdagangan pada dasarnya tergantung pada tiga faktor yaitu (i) tingkat distorsi/intervensi kebijakan pemerintah; (ii) komitmen masing-masing negara untuk mengurangi distorsi tersebut; (iii) konsistensi pelaksanaan komitmen.  Makin besar tingkat distorsi di negara-negara utama (produsen ataupun konsumen), maka makin besar potensi dampak dari liberalisasi perdagangan.  Tingkat distorsi yang tinggi berarti makin memperbesar domain kebijakan yang bisa dikoreksi sehingga potensi dari koreksi tersebut diperkirakan akan signifikan.  Sebagai ilustrasi, distorsi pada industri dan perdagangan gula sangat intensif dan hampir dilakukan oleh semua negara.  Jika kebijakan tersebut ditiadakan atau dikurangi, dampak terhadap industri dan perdagangan gula akan sangat signifikan. Hal ini berbeda dengan kasus karet yang tingkat distorsinya relatif rendah sehingga potensi dampak liberalisasi relatif lebih kecil.
            Faktor kedua adalah komitmen masing-masing negara untuk mengurangi distorsi.  Makin tinggi komitmen negara-negara utama untuk mengurangi tingkat distorsi, maka semakin besar dampak dari liberalisasi perdagangan.  Tingkat komitmen pengurangan distorsi masing-masing negara sangat bervariasi, tergantung berbagai faktor seperti daya saing komoditas, peran komoditas dalam perekonomian, termasuk faktor sosial, budaya, dan politik. Jika suatu komoditas mempunyai daya saing yang tinggi, negara cenderung mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengurangi distorsi, seperti Australia untuk komoditas gula. Sebaliknya, jika daya saing komoditas lemah dan punya peran ekonomi, sosial, dan politik yang tinggi, komitmen pengurangan distorsi umumnya minimal.  Kasus beras dan gula merupakan contoh umum dari situasi tersebut.
            Faktor ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah konsistensi dalam pelaksanaan komitmen.  Dalam beberapa kasus, ada upaya-upaya untuk memperlambat pelaksanaan komitmen karena berbagai faktor.  Dengan berbagai alasan, baik itu faktor teknis maupun dinamika pasar, sering dijadikan upaya untuk menghambat pelaksanaan komitmen. Selanjutnya, kelambatan pelak-sanaan komitmen oleh suatu negara sering diikuti oleh negara pesaingnya.
            Untuk sub-sektor perkebunan, tingkat distorsi, komitmen, serta konsistensi pelaksanaan komitmen bervariasi antara komoditas. Secara kualitatif, kondisi ketiga aspek tersebut untuk beberapa komoditas perkebunan adalah seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat Distorsi, Komitmen, dan Konsistensi Pelaksanaan Komitmen
Komoditi
Tingkat Distorsi
Komitmen Liberalisasi
Konsistensi Komitmen
Karet
*
*
**
Teh
**
*
**
Kopi
**
**
**
Kakao
***
**
**
Kelapa Sawit
***
**
*
Gula
****
**
*
Keterangan:
*      = rendah             **     = sedang
***  = tinggi    **** = sangat tinggi
           
            Komoditas karet relatif mempunyai tingkat distorsi perdagangan dan industri yang paling rendah (Tabel 2).  Berbagai kebijakan yang berkaiatan  dengan bantuan domestik hampir tidak ada. Hal yang sama juga berlaku untuk akses pasar yang relatif sudah mendekati perdagangan bebas. Berbagai kebijakan tingkat internasional, seperti kebijakan buffer stock dan kebijakan membentuk Tripartite Rubber Council (TRC) tidak dapat berjalan secara efektif. Karena tingkat distorsinya kecil, maka tingkat komitmen menjadi rendah karena tidak banyak kebijakan yang perlu ditinjau atau dikoreksi.
Tabel  2. Beberapa Kebijakan Distortif pada Komoditas Perkebunan

Komoditi
Beberapa Kebijakan Distortif
Karet
·      Perdagangan internasional : kontrol penawaran
·      Dukungan domestik minimum
Teh
·      Dukungan harga domestik
·      Input subsidi (bibit)
·      Subsidi kredit (peremajaan)
·      Tarif impor : maksimum 35%
Kopi
·      Perdagangan internasional : kontrol penawaran
·      Subsidi input (bibit dan pupuk)
·      Dukungan domestik : pemasaran dan gudang
Kakao
·      Perdagangan internasional : kontrol penawaran
·      Dukungan harga
·      Subsidi input
·      Subsidi kredit
·      Trade preferences
Kelapa Sawit
·      Kontrol produksi
·      Subsidi kredit
·      Pemasaran
·      Sanitasi dan fitosanitasi
·      Lingkungan
Gula
·      Kontrol produksi
·      Dukungan harga
·      Dukungan kredit
·      Subsidi ekspor
·      Trade preferences
·      Pembatasan akses pasar
·      Kebijakan distribusi
                                                                               
Tingkat distorsi perdagangan komoditas kelompok teh dan kopi umumnya termasuk kategori yang sedang dengan komimen dan implementasi umumnya termasuk kategori sedang. Sebaliknya, kakao memiliki tingkat distorsi lebih tingi yang hampir menggunakan berbagai instrumen intervensi. Intervensi yang tinggi tersebut diterapkan di negara-negara Afrika, khususnya pantai Gading dan Ghana.
            Distorsi yang relatif tinggi juga dialami komoditas minyak sawit.  Berbeda dengan komoditas sebelumnya, distorsi yang tinggi yang dihadapi minyak sawit berasal dari distorsi minyak pesaingnya.  Distorsi dilakukan di negara maju, seperti Amerika dan Eropa, tetapi juga di negara berkembang seperti India dan China. Hampir semua instrumen kebijakan diaplikasikan untuk minyak pesaingnya yaitu dari kebijakan kontrol produksi, kredit, dan masalah kesehatan. Bahkan, isu lingkungan kini juga digunakan untuk menekan industri kelapa sawit.
            Komoditas gula dapat dikategorikan sebagai pasar dan industri dengan tingkat distorsi paling tinggi.  Kebijakan distortif dilakukan oleh hampir semua negara, baik negara produsen maupun konsumen. Instrumen kebijakan yang digunakan termasuk instrumen yang sangat komprehensif yang mendistorsi sebagian besar industri gula dunia.  Kebijakan tersebut menyangkut kontrol produksi, kredit, dukungan harga, subsidi ekspor, trade preferences, bahkan juga kebijakan distribusi.  Di sisi lain, berbagai komitmen dalam Putaran Uruguay tidak secara signifikan mengurangi distorsi tersebut.  Hal ini menempatkan gula sebagai perdagangan dan industri yang paling distortif.
            Terlepas dengan tingkat distorsi dan implementasi pengurangan distorsi, liberalisasi perdagangan masih tetap mampu memberi net benefit, khususnya pada negara produsen, walaupun distribusi tidak tersebar secara proporsional.            Berdasarkan beberapa hasil studi, dampak positif secara umum diperkirakan terjadi adalah dalam bentuk kenaikan harga (Tabel 3). Dampak positif tersebut cukup signifikan karena tingkat liberalisasi yang dilakukan sampai dengan 2005 relatif masih rendah.  Jika dalam Putaran Doha komitmen liberalisasi disepakati lebih progresif, dampak positif tersebut akan menjadi semakin besar.
            Dampak terhadap produksi maupun konsumsi bervariasi berdasarkan komoditas, dan juga berdasarkan negara. Liberalisasi perdagangan diperkirakan akan berpengaruh positif terhadap kelapa sawit, namun berpengaruh negatif terhadap gula. Secara umum, jika intensitas kebijakan bantuan domestik/dukungan produksi semakin tinggi, maka liberalisasi perdagangan dan industri cenderung akan menekan produksi, dan sebaliknya. Di sisi lain, dampak terhadap konsumsi umumnya relatif lebih kecil, karena kebanyakan fungsi komoditas perkebunan adalah sebagai makanan dan minuman yang merupakan kebutuhsan pokok (permintaan tidak elastis).



Tabel 3. Perkiraan Dampak Komitmen Putaran Uruguay

Komoditas
Dampak Terhadap (%)
Harga
Produksi
Konsumsi
Kelapa Sawit
1.1-4.0
1.0-3.8
2.1-11.6
Kopi
4.5-7.0
-1.8
-0.8
Kakao
4.2
4.9
-0.5
Gula
2.5.-7.5
-1.1
-(1.8 – 4.4)

Sumber : Pasquali (1995), Devados dan Kroft (1998), Susila et al. (2000); Elbehri et al., (2000)
Dampak secara global dari liberalisasi perdagangan adalah kenaikan harga produk perkebunan dan dampak yang bervariasi untuk produksi, konsumsi, dan perdagangan.  Dampak positif juga cendrung tidak terdistribusi secara merata.  Beberapa negara memperoleh manfaat positif yang lebih besar.  Negara produsen yang efisien cendrung memperoleh manfaat positif yang lebih besar.  Di sisi lain, negara net-importir cenderung mengalami kerugisn sebagai akibat liberalisasi perdagangan.
Mengidentifikasi komitmen liberalisasi perdagangan yang berkaitan dengan perkebunan, Indonesia secara umum diperkirakan memperoleh manfaat bersih (net benefit) dari implementasi liberelisasi perdagangan tersebut.  Indonesia tidak mempunyai kekhawatiran dengan komit­men bantuan domestik.  Berbagai bentuk subsidi, seperti subsidi pupuk dan kredit sudah hampir seluruhnya dihapuskan, khususnya untuk tanaman perkebunan.  Subsektor perke­bunan juga tidak mendapat dukungan harga dalam bentuk harga dasar atau harga mini­mum.
            Terhadap komitmen akses pasar yang mencakup tarifikasi, penurunan tarif, dan akses minimum, Indonesia juga tampaknya tidak akan menghadapi masalah yang berarti.  Bahkan untuk kasus gula, Indonesia bahkan menerapkan tarif impor sebesar 25 persen, padahal komitmen binding tariff-nya adalah 95 persen.  Indonesia pada dasarnya siap menurunkan tarif impor untuk komoditas perkebunan  menjadi sekitar 40 - 60 persen. Hal yang sama juga berlaku untuk subsidi ekspor, karena tidak ada komodias perkebunan Indonesia yang diekspor dengan subsidi.  Untuk kasus ekspor CPO, kebijakan pemerintah Indonesia bahkan sebaliknya yaitu menge­nakan pajak ekspor.
Satu-satunya komitmen yang masih menjadi masalah bagi Indonesia adalah komitmen sanitasi dan fitosanitasi.  Seperti disepakati, setiap negara diijinkan membuat standar tersendiri yang berkaitan dengan komitmen tersebut, sepanjang tidak berlebihan. Pada kenyataannya, negara-negara importir yang umumnya adalah negara maju sering menggunakan komitmen tersebut untuk menghampat impor produk perkebunan dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
            Beberapa hasil studi mendukung perkiraan tersebut.  Sebagai contoh, lebih dari 80% dampak dalam bentuk peluang pasar sebagai akibat liberalisasi perdagangan minyak nabati akan dinikmati oleh produsen minyak sawit dimana Malaysia dan Indonesia sebagai pemain utama (Pasquali,1995); Susila et al. 2000). Untuk kakao, 8%-10% dampak perluasan pasar sebagai akibat liberalisasi perdagangan akan dapat dimanfaatkan Indonesia. Realisasi dari dampak positif tersebut tentunya sangat bergantung pada kemampuan Indonesia mensiasati komitmen sanitasi dan fitosanitasi serta berbagai kebijakan yang dapat memperkuat daya saing komoditas perkebunan Indonesia. Di samping itu, berbagai persiapan untuk Putaran Doha (Doha Round) yang akan dimulai tahun 2004 juga menentukan kinerja subsektor perkebunan Indonesia di masa mendatang.
            Suatu catatan menarik selama negosiasi Putaran Uruguay, Indonesia dikenal mempunyai dua kelemahan yaitu penguasaan substansi dan kemampuan negosiasi/lobi.  Para negosiator Indonesia kurang dibekali data dan analisis yang memadai untuk melakukan negosiasi sehingga komitmen-komitmen yang disepakati belum memberi manfaat yang optimal bagi Indonesia.  Sebagai contoh, banyak komitmen Indonesia yang penentuan binding tariff-nya terlalu tinggi, sehingga terkesan over-protective.  Hal ini akan mengurangi bargaining position Indonesia untuk menekan negara lain untuk melakukan liberalisasi. Kemampauan para negosiator Indonesia juga diperkirakan masih tetingal dari negara-negara lain, khususnya negara maju.


                Isu liberalisasi perdagangan akan terus bergulir dan perlu direspon secara tepat. Pada awalnya, liberalisasi perdagangan dimaksudkan untuk mening-katkan efisiensi dan sekaligus untuk mewujudkan suatu tatanan perdagangan yang lebih adil.  Sampai dengan akhir tahun 1980-an, tingkat distorsi perdagangan dan industri sudah demikian mengkhawatirkan sehingga telah menimbulkan kerugian secara global (social loss) yang demkian besar. Berbagai putaran pertemuan sudah dilakukan untuk mengkoreksi distorsi tersebut, sampai dengan ditandatangani Putaran Uruguay yang selanjutnya akan diperbaharui melalui Putaran Doha.
            Berbagai kepentingan, khususnya aspek sosial dan politik telah membuat upaya peningkatan efisiensi perdagangan dan industri serta menciptakan tatanan perdagangan yang lebih adil, belum dapat sepenuhnya terwujud.  Walaupun berbagai komitmen telah disepakati melalui Putaran Uruguay, berbagai upaya untuk melindungi kepentingan masing-masing negara masih tetap berjalan, walau dengan intensitas yang menurun.
            Dengan tingkat distorsi, komitmen, serta konsistensi dalam implementasi yang bervariasi antara komiditi perkebunan dan antara negara, dampak dari liberalisasi perdagangan juga bervariasi antar komoditi perkebunan dan negara. Secara umum, pelaksanaan liberalisasi perdagangan akan meningkatkan harga.  Dampak terhadap produksi, konsumsi, dan perdagangan bervariasi tergantung komodtas. Negara produsen yang efisien akan memeroleh manfaat yang lebuh besar, sedangkan negara net-importir akan menderita kerugian akibat liberalisasi perdagangan.
            Secara umum, Indonesia diperkirakan akan memperoleh net benefit dari implementasi liberalisasi perdagangan untuk komoditas perkebunan, dengan beberapa persyaratan berikut :
R  Negara pesaing dan negara importir utama komoditas perkebunan menerapkan komitmennya secara konsisten;
R  Indonesia dapat berperan untuk mendorong negara tersebut melaksanakan komitmennya dengan cara Indonesia membuka akses yang lebih besar (penurunan binding tariff) untuk komoditas perkebunan Indonesia yang kompetitif;
R  Indonesia mampu mensiasati dan melakukan lobi untuk masalah yang berkaitan dengan komitmen sanitasi dan fitosanitasi.  Upaya ini juga perlu diikuti oleh perbaikan mutu komoditas perkebunan Indonesia.
R  Indonesia menerapkan kebijakan yang mendukung daya saing dan dilaksanakan secara konsisten (tidak berubah-ubah dalam waktu yang singkat).
R  Pemerintah melakukan persiapan yang matang untuk Putaran Doha, baik itu substansi maupun para negosiator.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1994). Uruguay Round, Schedule XXI ‑ Indonesia, Republik Indonesia.
Devadoss, S dan Kropf, J. 1996. ‘Impacts of trade liberalizations under the Uruguay Round on the world sugar market, Agricultutal Economics, 15: 83-96
Elbehri, A., Hertel, T., Ingco, M., and Pearson, K. R. (2000). Partial liberalization of the world sugar market: a general equilibrium analysis of tariff-Rate quota regimes, Paper presented as selected paper at The Annual Conference on Global Economic Analysis, June 28-30, 2000, Melbourne, Australia.

Noble, J. 1997. The European sugar policy  to 2001; World Sugar and Sweetener Yearbook 1996/1997, D13-DA21.
Pasquali, M. (1995). The changing world trade environment in the oil seeds, oils, and oil meals sector with specific reference to the Asia and Pacific Region, Expert Consultation on The Changing World Trade Environment in the Oil Seeds and Products
Susila, W. R. (2000). ‘Dampak Putaran Uruguay terhadap perdagangan komoditas kopi, kakao, dan minyak sawit’, Karmawati, E. et al. (eds), Prosiding Simposium III, Penerapan Iptek untuk Meningkatkan Daya Saing Industri Perkebunan Indonesia, Puslitbang Tanaman Perkebunan dan APPI.
Susila, W.R. 2001. Liberalisasi Perdagangan Gula: Sebuah Ilusi, Tinjauan Komoditas Perkebunan 1(2):118-121.
Warley, T. K. (1989). ‘Agriculture in the GATT: past and future ‘, In a. Maunder dan Valdes (eds.), Agriculture and Government in Interdependent World, Darthmouth.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar