Deskripsi Diri

Khairil Anwar, SE, M.Si lahir di Paya Naden pada 20 April 1978 dari pasangan Tengku Umar bin Abu Bakar dan Fatimah binti Muhammad. Gelar Sarjana di peroleh dari Unsyiah Banda Aceh, sementara gelar Magister di peroleh dari SPs-USU Medan. Sejak tahun 2002 sampai saat ini bekerja sebagai dosen pada Prodi IESP Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh. Menikah dengan Riza Izwarni dan telah dikarunia dua orang anak; Muhammad Pavel Askari dan Aisha Naury.

Selasa, 18 Oktober 2011

PRANG LAWAN RI


  Från: Asnawi Ali Datum: 7 juni 2010 19:23:12 CEST Till: aliasnawi@yahoo.com Ämne: “SUMATERA SIAPA PUNYA?”            “SUMATERA SIAPA PUNYA?”   PIDATO WALI NEGARA ACEH SUMATERA MERDEKA DR. TEUNGKU HASAN MUHAMMAD DI TIRO... STOCKHOLM, 01 FEBRUARI 1991   KATA PENGANTAR   Mengakui dan merelakan diri kita tunduk kepada penguasa yang datang dari seberang lautan (Jawa), adalah tindakan bunuh diri. Untuk mengelakkan keadaan ini, maka kita harus membangun satu kesadaran baru dan mencampakkan segala pikiran kita yang salah dan sesat selama ini, serta memastikan bahwa penjajahan “regime Indonesia/ Djawa” ke atas bangsa Sumatera adalah suatu perbuatan yang dilarang, karena bertentangan denganHAK suatu bangsa untuk MENENTUKAN NASIB DIRI SENDIRI dan HUKUM INTERNASIONAL. Apabila kita berbicara tentang penjajahan, maka secara ringkas dapat dikemukakan di sini bahwa makna dari suatu penjajahan dapat dirumuskan dalam kalimat yang paling singkat: “KEHADIRAN ORANG ASING DARI SEBERANG LAUTAN DAN MEREKA MEMERINTAH SEGALA SEGI KEHIDUPAN ORANG YANG DIJAJAH MENURUT KEHENDAKNYA.”     Untuk mendudukakan dan memastikan bahwa bangsa Sumatera yang berhak berkuasa di tanah pusakanya, maka “SUMATERA, SIPA PUNYA?” satu pidato tertulis dari Teungku Hasan Muhammad di Tiro, Presiden Angkatan Aceh-Sumatera yang mengungkapkan, membongkar dan melucuti semua rahasia penjajah “Indonesia/ Djawa” sebagai gerakan pen-Jawa-an (Javanization) di seluruh Pulau Sumatera. Untuk itu, tulisan ini mengajak pembaca merenungi maknanya yang begitu mendalam dan sambutlah ajakan ini untuk melihat fakta sejarah yang diuraikan secara singkat, tepat dan padat, berpijak pada Hak yang diakui oleh Hukum Internasional sehingga mengantarkan kita kepada lapangan diplomasi untuk memperjuangkan kemerdekaan Sumatera – ‘Konfederasi Sumatera Merdeka’yang terdiri dari: Negara Aceh Merdeka, Negara Batak Merdeka, Negara Minang Merdeka, Negara Riau Merdeka, Negara Jambi Merdeka, Negera Lampung Merdeka, Negara Palembang Merdeka dan lain-lain. Masing-masing Negara tersebut mempunyai kedaulatan sendiri.     Itulah tujuan akhir kita. Oleh karena itu, kehadiran tulisan ini di hadapan pembaca, khususnya bangsa Sumatera, tidak lain kecuali untuk merumuskan, menentukan dan memastikan diri kita; dari seorang yang awalnya merenung dan menghayati berubah menjadi orang yang berfikir, berbuat dan bertindak.     Terima kasih Wassalamu’alaikum. Dari Penerbit   Biro Penerangan Angkatan Aceh-Sumatera Merdeka       “SUMATERA, SIAPA PUNYA?”       Ucapan ini kami tujukan kepada Saudara-saudara kami bangsa Sumatera, dari Aceh sampai ke Lampung, dari Sabang sampai ke Bangka dan Belitung. Perjumpaan kali ini bermakna: Kami sudah datang untuk mengunjungi Saudara-saudara sekalian, dan masing-masing, di mana saja Saudara-saudara berada: di rumah, di kantor, di pasar, di atas tanah ibu Sumatera, atau di perantauan. Mengapa kami lakukan ini? Sebab kami menghargai dan memuliakan Saudara-saudara saya se-Sumtatera: Setiap anak Sumatera mempunyai nilai yang tinggi dalam perhitungan kami. Setiap orang Sumatera berat yang menentukan dalam neraca kami. Saudara-saudara bukan hanya satu angka yang tidak berarti apa-apa dalam statistik, sebagaimana dibuat oleh perampok-perampok Jawa selama 46 tahun akhir-akhir ini, yakni sejak tahun 1945. Dalam statistik mereka, kita semua akhirnya jatuh dalam keranjang sampah minoriti yang tetap walaupun kita berjumlah 25 juta jiwa. Kita yang hidup atas tanah kita sendiri tetapi dinamakan minoriti dari satu bangsa lain, yang hidup di pulau/ negeri lain, di seberang lautan, yang tidak ada hubungan apa-apa dengan kita.     Bangsa Jawa tidak ada hak untuk memerintah di pulau Sumatera. Walaupun mereka lebih banyak dari pada kita, sebagaimana bangsa China tidak ada hak untuk memerintah bangsa-bangsa lain di Asia, walaupun mereka berjumlah lebih 1000 juta jiwa. Hak kita untuk merdeka sendiri di Sumatra adalah mutlak, tidak ada sangkut-pautnya dengan bangsa Jawa. Mereka tidak boleh meminoriti-kan kita di atas Tanah Ibu kita sendiri, Sumatera. Dalam sistem demokrasi, konsep minoriti itu diterima dengan syarat bahwa minoriti itu dapat menjadi mayoriti sesewaktu dan dengan pasti-pasti. Tetapi di bawah penjajahan Jawa yang bernama ‘Indonesia’, ini tidak bisa terjadi sebab bangsa Jawa mahu menjadi mayoriti yang tetap selama-lamanya. Mereka memakai nama ‘demokrasi’hanya untuk propaganda dan penipuan politik semata-mata.     Pada 4 Desember 1976, 26 tahun yang lalu, kami sudah menyatakan diri kepada dunia bahwa Aceh mahu merdeka kembali sebagaiman sedia kala: bahwa penjajahan bandit Jawa dari Jakarta yang sudah terjadi 56 tahun yang akhir-akhir ini tidak dapat menghapuskan Sejarah Negara Aceh Merdeka yang sudah lebih 1000 tahun itu, dan diakui oleh dunia! 46 tahun penjajahan bandit-bandit Jawa tidak mungkin dapat menghapuskan 1000 tahun sejarah Aceh Merdeka! Dan sejarah Aceh Merdeka sama dengan sejarah Sumatera Merdeka!. Sejarah Aceh Merdeka tidak dapat dihapuskan lagi sebab sejarah ini sudah berurat dan sudah berakar sampai ke hati bumi! Ini ditangan kami ada satu dokumen yang diterbitkan dalam surat kabar Inggris, THE TIMES (London), pada 28 januari 1991, tiga hari yang lalu. Dokumen ini ditandatangani oleh 4 orang anggota Parlemen Inggris yang paling terkemuka yaitu; Lord Avebury, Anggota House of Lords, Majlis Tinggi Parlemen Inggris. Beliau adalah Ketua dari pada Badan Urusan Hak Azazi Manusia dari Parlemen Inggris. Kemudian dokumen ini ditandatangani oleh Sir Bernard Braine, Wakil ketua I dari pada Badan Urusan Hak Azazi Manusia Parlemen Inggris itu; kemudian ditandatangani oleh Mr. Tony Lloyd, Wakil Ketua II dari Badan Parlemen itu; dan oleh Mr. Anthony Coombs, Sekretaris Jendral dari Badan Parlemen itu. Dokumen resmi ini menghukum perbuatan-perbuatan kejam yang dibuat oleh bandit-bandit Jawa, Joko Pramono dan kaki-tangannya atas bangsa Aceh sekarang ini. Dan dalam dokumen ini dikatakan:     “in view of the long history of friendship between Britain and Acheh-including a Treaty of ‘Permanent Peace, Friendship and Defensive Alliance’ in 1819-before the territory was invaded by the Dutch in 1873, it would be fitting if we invited the United natioan Human Rights Commision to review the available evidence…”     Artinya: “Mengingat kepada sejarah persahabatan yang lama sekali antara Inggris dan Acheh-termasuk adanya suatu Perjanjian Persahabatan yang kekal dan Persekutuan Pertahanan tahun 1819- sebelum Acheh diserang oleh Belanda di tahun 1873, maka adalah satu hal yang patut sekali bagi kita untuk mengundang Badan Urusan Hak Manusia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Human Rights Commision) untuk memasukan perkara kekejaman Jawa di Acheh ini dalam acara sidangnya bulan di Geneva dengan menimbang bukti-bukti yang ada pad kita…”     Surat resmi ini dikeluarkan dari Istana Westminster, pada 18 Januari, 1991. Ini membuktikan bahwa sebenarnyalah bahwa kedudukan Aceh sebagai satu bangsa yang merdeka dan berdaulat tidaklah pernah dilupakan dunia. Dan sejak kita menyatakan kembali Aceh Merdeka, maka kedudukan Aceh di dunia internasional sudah kita kembalikan sebagai sedia kala. Sekarang saja kita sudah mendapat satu kekuasaan besar (Kerajaan Inggeris) untuk menjadi pembuka-pintu bagi kita masuk langsung ke Sidang Human Rights Commision dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dari sini hanya satu langkah lagi untuk membuat PBB campur tangan dalam soal pembubaran kolonialisme Jawa di Aceh-Sumatera, misalnya dengan mengadakan pemilihan, dibawah pengawasan PBB, apakah bangsa Aceh-Sumatera mahu Merdeka atau tetap menjadi jajahan Jawa? Kita akan ambil langkah ini kalau kita anggap waktunya sudah tiba. Yang sudah terang benderang sekarang ialah bahwa bandit-bandit Jawa tidak dapat lagi menguasai politik dan hubungan luar negeri Aceh. Usaha Angkatan Aceh-Sumatera Merdeka untuk mengembalikan kedudukan lama Aceh di dunia internasional sudah berhasil dengan gilang-gemilang, dan tidak dapat disangkal lagi walaupun oleh bandit-bandit Jawa!     Penjajahan bandit-bandit Jawa di Sumatera sudah dilakukan secara illegal, tidak sah. Menurut Hukum Internasional, sah atau tidaknya sesuatu wilayah masuk sesuatu negara bergantung pada bagaimana asal mulanya wilayah itu maenjadi bagian dari negara itu. Kalau melalui jalan yang sah, maka sah; kalau melalui jalan yang tidak sah, maka wilayah itu tidak sah menjadi bagian dari negara itu. Maka yang wajib kita tanya sekarang ialah: Apakah negara penjajah Indonesia/ Jawa memperoleh secara legal? Mungkin Saudara-saudara sudah tahu bahwa Sumatera telah jatuh menjadi satu bagian Indonesia/ Jawa ialah sebagai akibat dari pada ‘penyerahan kedaulatan’ dari Belanda kepada Indonesia/ Jawa pada 27 Desember 1949. Tetapi menurut Hukum Internasional Belanda tidak mempunyai kedaulatan atas Sumatera. Maka bagaimana Belanda boleh memberikan kepada Indonesia/ Jawa apa yang Belanda sendiri tidak punya?     Yang ke dua, juga menurut Hukum Internasional, negara-negara penjajah tidak mempunyai hak untuk ‘menyerahkan kedaulatan’ atas tanah jajahan kepada negara lain. Jadi Belanda tidak mempunyai hak untuk menyerahkan kedaulatan atas Sumatera kepada Indonesia/ Jawa. Teranglah sudah apa yang dibuat oleh Belanda dan Indonesia/ Jawa adalah 200% illegal. Sebab itu negara penjajahan Indonesia/ Jawa tidak mempunyai tidak mempunyai hak yang sah di pulau Sumatera: Negara penjajah Indonesia/ Jawa adalah illegal di sini! Sumatera telah jatuh ke tangan mereka tidak menurut Hukum Internasional.     Atas pertanyaan: “SUMATERA, SIAPA PUNYA?” hanya ada satu jawaban yang tegas, terang dan tidak samar-samar lagi, yaitu kepunyaan kita bangsa Sumatera sendiri, dari Aceh sampai ke Lampung, dari Sabang ke Bangka dan Belitung! Bandit-bandit Jawa: Suharto, Sudomo, Sutrisno, Murdani, Pramono, Prawiro dan lain sebagainya, tidak mempunyai hak untuk datang ke Sumatera kalau minta izin masuk dari Saudara-saudara lebih dahulu; apalagi kalau mereka dating untuk ‘memerintah’ ke Sumatera. Ini membuat mereka, dengan serta merta menjadi ‘Penjahat Internasional’ sebab perbuatan pergi ‘memerintah ke-seberang-lautan’ bermakna menjajah, dan si penjajah sekarang dinamakan dalam istilah Hukum Internasional sebagai ‘International Criminals’ (Penjahat Internasional), yang kita bangsa Sumatera, yang berdaulat dan yang di-pertuan di sini, berhak menghukum mereka. Hak Bersama (Collective rights) yang paling penting dari sesuatu bangsa ialah Hak Daulat atas Tanah Ibu dan Bapaknya, yang tidak boleh diganggu-gugat oleh bangsa-bangsa lain dari seberang lautan. Hak Daulat kita bangsa Sumatera atas pulau Sumatera tidak boleh diganggu-gugat oleh bangsa Jawa dari seberang lautan. Hak kita atas Tanah Ibu dan Tanah Bapa ini dilindungi dan dijamin oleh Hukum Internasional dengan Tujuh buah Ketentuan Hukum.      Pertama, Ketentuan Hukum Tanah (Jus Soli) yang memelihara hak seseorang atau sesuatu bangsa atas Tanah-Tumpah-Darahnya. Inilah satu hak dasar yang penting sekali, yang tidak boleh diikut-sertakan orang/ bangsa lain yang tidak memenuhi syarat-syarat ketentuan. Ini bermakna bahwa di Sumatera hanya kita bangsa Sumatera asli yang mempunyai Hak Tanah ini. Bangsa Jawa tidak mempunyai hak ini di Sumatera. Inilah pagar hukum yang pertama, yang melindungi hak Saudara-saudara atas Tanah Ibu Sumatera. Bangsa Jawa tidak boleh masuk kemari lalu menuntut hak yang sama dengan kita, apalagi untuk bertindak sebagai ‘pemerintah’ atas kita.      Kedua, Ketentuan Hukum Internasional yang disebut Jus Sanguinis (Hukum Darah) yang menentukan bahwa hanya mereka yang berdarah Sumatera dalam badannya mempunyai Hak Tanah atas pulau Sumatera. Hak Darah ini memperkuat Hak Tanah yang baru kami sebut tadi.     Ketiga, Ketentuan Hukum Internasional perkara Hak Daulat (Sovereignty). Di Sumatera, yang mempunyai kedaulatan adalah bangsa Sumatera sendiri. Bangsa Jawa tidak boleh berdaulat di Sumatera. Kalau mereka mengatakan bahwa mereka berdaulat di Sumatera, itu bermakna mereka sudah menjajah kita. Dan karena penjajahan adalah satu kejahatan, maka kita wajib mengusir mereka dari Tanah Sumatera.     Ke-empat, Ketentuan Hukum Internasional yang melarang penjajahan (Colonialism) dalam segala bentuk dan macamnya. Makna yang setegas-tegasnya dari penjajahan ialah perbuatan sesuatu bangsa yang pergi memerintah bangsa lain di seberang laut; seperti apa yang dibuat oleh bangsa Jawa atas bangsa Sumatera selama 56 tahun yang akhir-akhir ini, walaupun apa yang dipropagandakan oleh bandit-bandit Jawa itu! Penjajahan adalah satu kenyataan yang tidak dapat ditutup-tutupi dengan propaganda atau ‘penerangan.’     Kelima, Ketentuan Hukum Internasional yang menjamin Hak Hukum Tersendiri (Separate Jurisdiction) kepada segala negeri terjajah supaya tidak ‘disatukan’ oleh si penjajah, seperti Jawa membuat negara ‘kesatuan’ nya dari pulau-pulau yang dijajahnya. Ini memperlihatkan bahwa perbuatan bandit-bandit Jawa memasukkan Sumatera dalam ‘negara kesatuan’ mereka adalah perbuatan illegal, yang melanggar Hukum Tersendiri dari Sumatera.     Ke-enam, Ketentuan Hukum Internasional yang menjamin Hak Menentukan Nasib Diri-Sendiri (Self Determination)kepada bangsa-bangsa terjajah adalah satu jaminan lagi atas Hak Tanah dan Hak Darah mereka yang tidak boleh diperkosa oleh bangsa-bangsa lain dari seberang lautan. Hak ini adalah satu hak mutlak juga bagi kita bangsa Sumatera. Ketujuh, Ketentuan Hukum Internasional yang mengakui Hak bangsa-bangsa terjajah untuk berperang melawan bangsa penjajah mereka (The legality of liberation struggle). Tegasnya kita bangsa Sumatera mempunyai hak penuh untuk melawan si penjajah Jawa yang sudah menggantikan Belanda sebagai penjajah atas bumi Sumatera.     Ketujuh ketentuan Hukum Internasional ini sudah lebih dari cukup untuk memelihara Hak Tanah, Hak Darah, Hak Daulat, dan Hak Diri-Sendiri, Hak Terpisah, Hak Merdeka dan Hak Berperang dari segala bangsa yang mengawal kemerdekaannya, termasuk kita bangsa Sumatera, asal kita bersikap dan bertindak menurut ketentuan-ketentuan ini. Tetapi ketentuan-ketentuan hukum ini, seperti semua ketentuan hukum yang lain, tidaklah menjalankan dirinya sendiri. Kita yang punya Tanah, yang punya Darah, yang punya Daulat, yang wajib menegakkan ketentuan-ketentuan Hukum Internasional ini. Kita telah diberikan Tujuh lapis pagar yang dapat memelihara Hak kita atas Tanah Ibu Sumatera. Tetapi alangkah ganjilnya: walaupun telah ada tujuh lapis pagar ini, babi-babi Jawa masih dapat masuk ke kebun kita Sumatera dan memakan segala hasilnya!     Sebenarnya Sumatera sudah wajib merdeka 56 tahun yang lalu, sewaktu Belanda sudah pergi. Demikinalah ketentuan-ketentuan Hukum Internasional dan Aturan-aturan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Adapun pemimpin-pemimpin Sumatera yang mengetahui hal ini dan telah berusaha mendirikan Negara Sumatera Merdeka di tahun 1945 dan di tahun-tahun sesudahnya. Mereka itu adalah Dr. Teungku Mansur dari Medan dan Tuan Abdul Malik dari Palembang. Mereka adalah putra-putra Sumatera yang tahu siapa diri mereka, apa kepentingan Nasional Sumatera mereka, dan menghormati diri dan nenek moyang mereka. Mereka menolak menerima ‘perintah’ dari bandit-bandit Jawa, dari seberang lautan itulah penjajahan! Merreka tidak membenarkan pergantian penjajahan Belanda kepada Jawa atas bumi Sumatera! Mereka mahu Sumatera Merdeka! Hari ini kita ratapi meraka itu! Hari ini kami nyatakan kedua patriot Sumatera itu sebagai Pahlawan Nasional Sumatera!     Ada satu lagi golongan pengkhianat-pengkhianat Sumatera yang tidak boleh kita lupakan. Sebab kalau kita lupakan, maka mereka akan dapat menggagalkan perjuangan kemerdekaan kita sekali lagi, kali ini. Mereka itu ialah orang-orang Sumatera yang sudah pindah ke Jawa dan menjadi kai-tangan, kuda-beban, jangos dan pesuruh bandit-bandit Jawa; mereka sudah lama menjual murah kepentingan nasional Sumatera dan Tanah Ibu kita kepada bandit-bandit Jawa, untuk kepentingan pribadi mereka sendiri, asal diberi sedikit gaji atau jabatan-jabatan menteri boneka yang tidak berkuasa apa-apa. Untuk itu mereka bersedia membenarkan penjajahan bandit-bandit Jawa atas bangsa dan negeri mereka. Kebanyakan mereka mengidap penyakit ‘Identy Crisis’ dan ‘Infeority Complex’. Tanda mereka ini, dan jangan lagi terpengaruh dengan perkataan dan tulisan mereka!     Bangsa-bangsa, pulau-pulau, benua-benua, adalah kenyataan alam bikinan Tuhan, yang tidak dapat dibuat-buat atau dibikin-bikin oleh manusia. Berpegang teguh-teguhlah pada kenyataan-kenyataan ini, dan pada kebenaran-kebenaran yang lain: sebab di Indonesia/ Jawa kenyataan dan kebenaran bisa ditiadakan dengan propaganda; pulau-pulau dan bangsa-bangsa bisa dihilang dengan ‘tukar nama’. Tuhan telah membuat pulau Sumatera dan bangsa Sumatera untuk menduduki dan memiliknya dan mempusakakannya kepada anak cucu mereka. Demikian juga Tuhan telah membuat pulau Jawa dan bangsa Jawa atas pulau itu. Ini adalah kenyataan dan kebenaran. Bangsa Jawa harus menerima kenyataan dan kebenaran ini juga, mereka tidak boleh pergi ke Sumatera merampas Tanah kita, Untuk menjamin keadilan dan kebenaran inilah maka dalam Hukum Internasional telah dibuat Tujuh buah Ketentuan Hukum yang menjaga Hak setiap bangsa atas Tanahnya; supaya satu tidak dapat merampas Tanah bangsa lain; Untuk itulah maka telah diadakan Tujuh Ketentuan Hukum-Tujuh Lapis Pagar!- Untuk menjaga hak bangsa-bangsa atas Tanah Ibu mereka; Ketujuh Ketentuan Hukum Internasional itulah: Jus Soli, Jus Sanguinis, Sovereignty, Separate Jurisdiction, Self-Determination, No-To-Colonialism, Right of Liberation.     Tetapi apa yang sudah terjadi dan sedang terus terjadi atas kita bangsa Sumatera, di pulau Sumatera? Bandit-bandit Jawa: Suharto, Murdani, Sutrisno, Sudomo, Pramono dan lain sebagainya sudah merangkak masuk ke Tanah Pusaka kita Sumatera, dengan meloncat ketujuh pagar Hukum Internasional itu, dengan pistol di tangan, mereka mengancam kita untuk menukar nama bangsa kita, untuk menukar nama Tanah kita, dari bangsa Sumatera menjadi satu bangsa lain yang diada-adakan oleh mereka, yaitu bagi bangsa Sumatera menjadi “bangsa pulau Hindu” (itulah makna kata-kata “Indonesia” dari bahasa Yunani), dan kalau tidak mahu maka mereka menembak mati bangsa kita seketika itu juga! Yang mereka lakukan atas kita ini adalah perampokan di tengah hari! Kalau kita mahu menurut ‘perintah’ dari penyamun-penyamun Jawa ini, yakni menukar nama kita dari bangsa Sumatera menjadi bangsa pura-pura “Indonesia” maka pada detik itu juga kita sudah menghapuskan diri kita sebagai bangsa Sumatera (sebagai Tuhan telah membuat kita!); sudah melenyapkan Hak kita atas pulau Sumatera; sudah melemparkan ke dasar laut Hak milik kita atas pulau Emas; sudah membatalkan sendiri ketujuh Ketentuan Hukum Internasional yang menjamin Hak bangsa Sumatera itu, Dalam dunia ini tidak ada satu hak pun dapat berdiri atau selamat, kalau bangsa yang mempunyai hak itu tidak mahu mempertahanka Haknya.     Seluruh kehidupan manusia dan bangsa-bangsa adalah perselisihan mengenai ‘ukuran’ dan ‘timbangan’ dan ‘siapa yang patut memegang timbangan’ itu, di dalam setiap negeri, di kalangan setiap bangsa-bangsa yang membiarkan ‘neraca’-nya dipegang oleh bangsa asing yang datang dari seberang lautan, bangsa itu akan mampus sebagai satu bangsa. Bangsa-bangsa yang mahu hidup, tetapi tidak mahu berselisih, tidak mahu bertengkar, tidak mahu berkelahi, tidak mahu berperang, dalam perkara ‘ukuran’ dan ‘timbangan’-nya dan dalam perkara menentukan ‘siapa yang berhak memegang neraca’ di negerinya, maka bangsa itu akan hilang lenyap dari permukaan bumi. Sebab itu, setiap bangsa merdeka haruslah bersedia berperang dalam menentukan perkara-perkara ‘ukuran’, ‘timbangan’ dan ‘penimbang’ ini.     Apa yang sebenarnya yang wajib kita lakukan di Sumatera atas bandit-bandit Jawa penjajah ini? Kita wajib mengusir mereka dari bumi Sumatera dalam detik ini juga! Bandit-bandit Jawa ini adalah orang-orang bodoh, tidak berpendidikan, tidak berperadaban, mereka tidak pandai memerintah, mereka hanya tahu merampok dan membunuh. Mereka tidak berhak memegang ‘ukuran’, ‘timbangan’, dan ‘neraca’ kita di Sumatera. Mereka tidak mempunyai kesanggupan dalam hal-hal semacam ini, sebab ‘korupsi’ adalah bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari kebudayaan dan peradaban mereka itu. Ahli FIlsafat Jerman, Friedrich Nietzsche, selalu memperingatkan kita bahwa “sangatlah berbahaya apabila suatu golongan memperoleh kekuasaan politik, padahal mereka ini tidak mempunyai nilai peradaban yang benar-benar lebih tinggi dari golongan lain yang diperintahnya…maka kekuasaan politik di tangan mereka ini akan menjadi penindasan yang paling kejam dan di luar peri-kemanusiaan.”   (“Political superiority without any real human superiority is most harmful…any slackening of cultural tasks would turn this power into the most revolting tyranny”).      Inilah yang sedang terjadi di Tanah Ibu kita Sumatera di bawah penjajahan bandit-bandit Jawa yang tidak mempunyai peradaban ini. Kita wajib mengusir mereka dari persada Tanah Ibu kita sekarang juga! Orang Sumatera yang tidak berani berbuat begitu berarti ia sudah hilang sifat-sifat kemuliaannya, sudah tidak berkarakter lagi dan akan sah hilang Haknya atas pulau Emas ini! Karena banyak sekali orang-orang Sumatera yang sudah menjadi beginilah maka sekarang Emas kita sudah menjadi borg/ modal bank-bank China-Jawa sebagai rekening/ account dari bandit-bandit Jawa; Suharto, Murdani, Sudomo, Sutowo, Sutrisno, dan lain sebagainya.     Selama ini bandit-bandit Jawa bergantung hampir 100 % pada kita bangsa Sumatera untuk melakukan penjajahannya. Inilah penjajahan yang kita biayai sendiri dengan uang Sumatera, dengan bantuan tenaga boneka-boneka Sumateranya. Bandit-bandit Jawa tidak akan pernah berhasil mendirikan penjajahan mereka di Sumatera dengan tidak ada kerja sama dari kaki-tangan mereka yang terdiri dari bangsa Sumatera. Sebab itu sebegitu lekas kita memberi kesadaran kepada bangsa Sumatera perkara kepentingan Nasional Sumatera-nya sendiri, sebegitu lekas kita dapat mengahancurkan penjajahan bandit-bandit Jawa di pulau kita. Sebenarnya Imperialisme Jawa adalah suatu Imperialisme yang paling lemah di dunia. Ia adalah Imperialisme orang-orang bodoh dan miskin yang mustahil dapat dipertahankan oleh mereka apabila bangsa Sumatera sudah terbuka kembali matanya, sudah bangun dari tidurnya, dan sudah sadar kembali kepada kepentingan nasional Sumateranya. Imperialisme Jawa sudah didirikan atas dasar penipuan umum di dalam negeri dan di luar negeri dengan meniadakan bangsa Aceh-Sumatera dan lain-lain, dan dengan meniadakan ketujuh buah Ketentuan Hukum Internasional mengenai hak bangsa-bangsa untuk merdeka atas tanah pusaka mereka masing-masing.     Bila rahasia penipuan itu terbuka, di dalam dan di luar negeri, sebagaimana sudah mulai terjadi sekarang, maka imperialisme si miskin dan si pembual ini akan harus gulung tikar! Sebab itulah mereka takut sekali kepada apa yang ditulis dalam surat-surat kabar luar negeri mengenai kekejaman dan korupsi mereka. Sebab isi-isi surat kabar luar negeri itu lambat laun akan sampai juga ke telinga bangsa Sumatera dan bangsa-bangsa lain yang mereka jajah atas nama bangsa pura-pura ‘Indonesia/ Jawa’.     Sebenarnya Imperialisme bandit-bandit Jawa ini begitu lemahnya sehingga kita bisa mengusirnya dari Sumatera dengan ‘gesture’ saja, yakni dengan memberi ‘isyarah’ saja. Camkan ini; seluruh dunia tahu bahwa di pulau Jawa tidak ada apa-apa. Apa yang dikehendaki oleh bangsa-bangsa dunia adalah kekayaan Sumatera. Orang-orang luar negeri datang ke Jawa adalah sebab Sumatera: sebab saudara-saudara di Sumatera sudah memberi kesan kepada dunia luar bahwa Saudara-saudara benar-benar memandang bandit-bandit Jawa di Jakarta sebagai ‘pemerintah pusat’mu, ‘sebagai yang dipertuan’mu yang kamu ta’ati! Sebegitu lekas Saudara-saudara beritahu kepada dunia luar bahwa Saudara-saudara tidak mahu lagi menerima ‘perintah’ dari bandit-bandit itu, orang-orang luar negeri tidak lagi datang ke Jawa, tetapi akan datang langsung ke Sumatera membuat urusan dengan kita! Dan hal ini bisa kita beritahukan kepada dunia luar dengan dua (2) cara: baik dengan dentuman peluru, atau dengan berbisik saja ke telingan para diplomat-diplomat luar negeri. Saudara-saudara boleh memilih antara dua jalan ini untuk mengusir bandit-bandit Jawa dari Tanah Ibu kita: kapan saja dan begitulah mudahnya!     Kedudukan bandit-bandit Jawa adalah dalam keadaan yang sukar sekali sekarang. Di mana yang lampau mereka berhasil memegang monopoli hubungan luar negeri kita. Di masa yang sudah hanya mereka saja yang pandai bergerak dalam lapangan yang menentukan segala-galanya ini; sebab di bagian dunia kita, politik luar negerilah yang menentukan politik dalam negeri! Sekarang monopoli mereka dalam urusan hubungan luar negeri sudah kita hancur leburkan, seperti mereka mempunyai perwakilan di luar negeri, kita pun, yakni Angkatan Aceh-Sumatera Merdeka mempunyai perwakilan luar negeri di mana-mana. Sekarang bandit-bandit Jawa tidak dapat lagi berbicara ‘atas nama’ kita di luar negeri, atau bertindak sebagai ‘juru bicara’ kita, sebab kita tidak izinkan lagi mereka berbuat demikian: sebab kita sudah berbicara dan berhubungan sendiri dengan luar negeri- kembali seperti di masa Aceh dan Sumatera masih merdeka. Sekarang bandit-bandit Jawa sudah tidak dapat lagi menjual harta kekayaan Sumatera ke luar negeri denga tidak diketahui dan akan kita ambil kembali sesewaktu.     Bnadit-bandit Jawa penjajah mengatakan bahwa masalah kemerdekaan Aceh-Sumatera adalah soal ‘dalam negeri’ mereka. Bagaimana bodohnya mereka ini. Pulau Sumatera tiga lebih besar dar pulau Jawa: bagaimana ada jalan untuk memasukan pulau Sumatera yang ketiga kali lebih besar itu kedalam pulau Jawa? Dan apakah mereka tidak tahu ke tujuh Ketentuan Hukum Internasional yang mengatakan mereka tidak berhak campur tangan dalam soal kemerdekaan Sumatera? Kalau mereka tidak tahu, maka kitalah yang wajib mengajar mereka yang kurang ajar ini.     Selama 46 tahun belakangan ini, yakni sejak tahun 1945, bandit-bandit Jawa sudah melakukan penipuan-penipuan politik yang luar biasa ke atas bangsa Sumatera yang belum mempunyai kesadaran politik itu sampai sekarang antara lain:   Pertama, pemalsuan sejarah: nama ‘Indoneisa’ yang baru berumur 46 tahun, sekarang dipropagandakan seakan-akan sudah berumur beribu-ribu tahun, bahkan ada ‘prehistory’nya. Bagaimana satu bangsa pura-pura, yang ‘history’nya pun tidak ada, bisa ada ‘prehistory’nya? Propaganda ini dibuat oleh bandit-bandit Jawa untuk mempengaruhi orang-orang Sumatera yang tidak mempunyai sejarah.     Kedua, pemalsuan kenyataan: sudah kita tahu Tuhan-lah yang membuat pulau dan bangsa sebagaimana yang sudah dibuatnya pulau Sumatera dan bangsa Sumatera; pulau Jawa dan bangsa Jawa. Tetapi Tuhan tidak membuat pulau ‘Indonesia’ dan tidak membuat bangsa ‘Indonesia’ di dunia ini. Ini hanya propaganda bandit-bandit Jawa belaka supaya mereka boleh datang ke Sumatera untuk merampok (menjajah) kita. Tetapi orang Sumatera yang bodoh-bodoh, yang tidak tahu kepentingan ekonomi dan kepentingan politiknya sendiri menerima propaganda bandit-bandit Jawa ini.     Ketiga, dengan propaganda lain yang bukan-bukan, yang kalau kita kupas dengan akal dengan akal sehat akan ternyata kepalsuan dengan terang benderang, misalnya propaganda mereka tentang ‘Sumpah Pemuda’ yang konon telah ‘membuat’ bangsa Indonesia mereka. Pikirlah! ‘Sumpah Pemuda’ tidak bisa membuat pulau dan dan tidak bisa membuat bangsa, sebab yang membuat pulau dan bangsa adalah ALLAH semata-mata. Sumpah itu hanyalah satu istilah hukum, yang mepunyai makna dan akibat yang pasti-pasti dan ada batas-batasnya. Sumpah hanya mengikat mereka yang bersumpah saja dan bukan orang lain, apa lagi seluruh bangsa. Sumpah itu ada yang legal dan illegal, ada yang boleh, ada yang tidak boleh. Semua tergantung pada apa isi sumpah itu; apa yang disumpahkan. Kalau ada pemuda-pemuda yang bersumpah untuk membuat pulau Sumatera (yang mana adalah harta pusaka bangsa Sumatera) untuk menjadi milik bangsa Jawa dari seberang lautan, maka sumpah pemuda itu hukumnya illegal, haram, bersifat kejahatan (criminal). Itu artinya sumpah untuk merampok harta orang lain. Pikirlah! Itulah hakikat dan akibat dari ‘sumpah pemuda’ yang diagung-agungkan itu. Kalau ada pemuda-pemuda Sumatera yang turut membuat sumpah itu, maka ia sudah menjadi pengkhianat kepada bangsa sendiri; sebab telah menjual Tanah Ibunya kepada bangsa asing dari seberang lautan, di samping itu wajib kita bertanya pula: apakah pemuda-pemuda itu ada mendapat mandat (surat kuasa) dari kita bangsa Sumatera untuk membuat sumpah bodoh dan haram itu atas nama kita? Siapakah yang sudah memilih mereka? Kita tahu: tidak ada yang memilih mereka. Sebab itu, sumpah pemuda itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar poliitk negara sebagaimana dipropagandakan oleh bandit-bandit Jawa. Sebenarnya dalam apa yang disebut ‘sumpah pemuda’ itu terlibat satu komplot Jawa untuk mengancurkan Hak Tanah (Jus Soli) dari bangsa Sumatera atas pulau Sumatera; untuk menghacurkan Hak Darah (Jus Sanguinis) dari bangsa Sumatera atas pulau Sumatera; untuk menhilangkan Hak Daulat (Sovereignty) bangsa Sumatera atas pulau Sumatera; dan untuk memberikan pulau Sumatera kepada bangsa Jawa.     Maka dari sudut hokum, ‘sumpah pemuda’ ini adalah illegal, haram, sebab dalam sumpah ini terlibat pencurian tanah dan perampasan kekayaan bangsa Sumatera oleh pemuda-pemuda Jawa. Pemuda-pemuda Sumatera yang ikut turut serta dalam sumpah yang terang-terangan merugikan kepentingan nasional mereka itu, sadar atau tidak mereka sudah berkhianat. Patutkah satu sumpah haram, illegal dan bodoh ini diterima sebagai dasar ‘Kebangsaan Indonesia’? Sudah terang tidak patut! Selain dari itu, ‘sumpah pemuda’ ini juga melanggar tujuh Ketentuan Hukum Internasional yang melindungi Hak bangsa Sumatera atas tanah yang telah dikarunia Allah kepada mereka.     Di samping melanggar Hukum Internasional, dan Kepentingan nasional Sumatera, ‘sumpah pemuda’ itu juga melanggar Hukum Pusaka dan Hukum Harta Benda dalam Islam, sebab membenarkan perampasan harta pusaka dari berjuta-juta bangsa Sumatera dan memindahkannya secara tidak sah ke tangan bangsa Jawa. Firman Allah swt dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, Ayat 188 dengan artinya: “Janganlah kamu memakan harta sesamamu diantara kamu dengan tidak adil, dan memakai pemerintah untuk merampas harta manusia secara haram dan kamu tahu”.     Sebab itu ‘sumpah pemuda’ yang dimaksud itu adalah illegal, haram, dan satu jinayah sebab ia merampas hak milik dan hak pusaka bangsa Sumatera dengan tidak adil, untuk memberikannya kepada bangsa Jawa dari seberang lautan.     Apakah yang sudah dilakukan oleh bandit-bandit Jawa atas Tanah Ibu kita Sumatera dari tahun 1945 sampai sekarang ini (1991); sudah masuk 46 tahun?.     Sudahlah terang benderang bahwa bangsa Jawa sudah mengambil pulau Sumatera secara haram, illegal. Dan sejak itu mereka sudah mendirikan pemerintahan dengan pembunuhan sampai hari ini. Kita tidak boleh lupa bahwa yang pertama sekali dilakukan oleh bandit-bandit Jawa ini, sebegitu lekas mereka berhasil merebut Sumatera di tahun 1945, ialah membunuh semua sulthan-sulthan kita di Sumatera; seperti Sultan Langkat, Sultan Asahan, Sultan Deli, Sultan Siak, Sultan Serdang, Sultan Panai, Sultan Kutai, dan lain-lain. Dengan membunuh sultan-sultan kita, merak memenggal kepala Sumatera! Sebab sultan-sultan kita adalah lambing kemulian bangsa Sumatera! Kita punya prestige simbols? Selama sultan-sultan kita masih ada di Sumatera, maka bandit-bandit Jawa tidak dapat membaut bangsa Sumatera menyembah kepada mereka. Itu sebabnya mengapa bandit-bandit Jawa tidak dapat membuat bangsa Sumatera menyembah kepada mereka. Itulah sebabnya mengapa bandit-bandit Jawa telah membunuh sultan-sultan Sumatera. Oleh bandit-bandit Jawa telah dipropagandakan bahwa sultan-sultan kita di Sumatera sudah terbunuh sebab adanya ‘revolusi sosial’ di Indonesia. Tetapi sultan-sultan kita tidaklah dibunuh oleh rakyat Sumatera tetapi oleh bandit-bandit Jawa transmigarants yang keluar dari kebun-kebun karet di sekitar Medan, atas perintah dari pemimpin-pemimpin mereka dari Jawa. Jika benar ada ‘revolusi sosial’ di Indonesia, mengapa sultan-sultan di Jawa tidak dibunuh juga? Mengapa sultan Jogja, Sultan Solo, dan lain-lain tidak dibunuh? Hanya sultan-sultan kita di Sumatera yang mereka bunuh. Bukan sultan-sultan saja, tetapi juga semua keluarga; ini berarti semua orang-orang terpelajar dan paling terkemuka di kalangan bangsa Sumatera? Pemerintahan dengan pembunuhan ini masih terus dijalankan oleh bandit-bandit Jawa sampai hari ini: Saudara-saduara tahu apa yang sedang mereka lakukan di Aceh sekarang ini. Tetapi kita tidak takut kepada bandit-bandit Jawa ini: kita akan beriakn hukuman yang setimpal kepada mereka atas segala pembunuhan yang telah mereka lakukan di Sumatera sejak tahun 1945: dari pembunuhan atas sultan-sulatan sampai kepada pembunuhan atas pemimpin-pemimpin Aceh merdeka!     Kami memanggil semua patriot-patriot Sumatera. Ninik-Mamak di Minangkabau, Kepala-kepala Marga di Tapanuli, Teungku-Teungku di Sumatera Timur, Pangeran-pangeran di Sumatera Selatan, dan pemuda-pemuda di seluruh Sumatera supaya bangun serentak, sekarang, susun pemerintahan sendiri di wilayah masing-masing. Pemerintah yang Saudara-saudara dirikan itulah pemerintah yang sah, sebab ‘pemerintah’ bandit-bandit Jawa dan kaki-tangannya mereka tidak sah di bumi Sumatera. Saudara-saudaralah yang berdaulat di sini bukan bandit-bandit Jawa: Suharto, Pramono, Sutrisno, Murdani, Sudomo, dan lain sebagainya. Jangan lagi menerima ‘perintah’ dari seberang lautan: sebab itulah yang bernama penjajah! Kalau pemerintah setempat oleh bangsa Sumatera, untuk bangsa Sumatera sudah berdiri, maka kita akan mempersatukan diri dalam satu gabungan Negara-negara Sumatera atauConfederation of Sumatera States (Konfederasi Sumatera Merdeka) dengan memakai sistem negara Swiss. Lakukan di wilayah Saudara-saudara apa yang telah dilakukan oleh Saudara-saudaramu di Aceh. Jika Saudara-saudara sudah bergerak dan membutuhkan bantuan, kami akan mengirim tentara kita dari Aceh untuk membantu Saudara-saudara. Pada akhir tahun kita adakan satu Konferensi Sumatera di Switzerland untuk menulis dan mengesahkan Undang-Undang Dasar Konfederasi Sumatera Merdeka. Sekarang waktunya sudah tiba untuk bertindak. Waktu untuk pidato-pidato saja sudah habis. Hanya mereka yang berani bertindak –man of action- yang mendapat undangan hadir ke Konfederasi Sumatera Merdeka di Geneva akhir tahun ini.     Kalau Saudara-saudara perlukan ‘kertas kerja’ (working papers) sebagai pedoman bagaimana kita akan atur Konfederasi Sumatera Merdeka nanti, maka kami anjurkan Saudara memakai buku saya Demokrasi Untuk Indonesia,yang sudah saya tulis di tahun 1956, 35 tahun yang silam. Apa yang saya katakan kepada Saudara-saudara sekarang sudah saya katakan dan saya tulis sejak 35 tahun yang lalu dengan terang-terangan. Ini adalah semua kebenaran yang disembunyi-sembunyi oleh bandit-bandit Jawa selama 46 tahun ini, untuk memungkinkan penjajahan mereka. Tetapi kebenaran yang disembunyikan menajdi racun, yang akhirnya akan mematikan pihak-pihak yang menyembunyikan kebenaran itu sendiri. Satu buku saya lagi yang saya anjurkan Saudara-saudara baca: Masa-depan Politik Dunia Melayu, yang saya tulis dalam tahun 1965, 26 tahun yang lalu. Ucapan Hang Tuah, “Tak Melayu hilang di dunia”. Berlaku di keduabelah pantai Selat Malaka. Hak pertuanan bangsa-bangsa Melayu juga berlaku di Sumatera. Bangsa Jawa bukanlah bangsa Melayu sebab adab, budaya, dan cultural mereka bukanlah adab, budaya dan cultural Melayu. Demikian juga bahasa Jawa bukanlah bahasa Melayu. Ingat bahasa tanda bangsa! Saya panggil semua pemuda-pemuda Sumatera supaya berpegang tangan dengan pemuda-pemuda Aceh Merdeka untuk memerdekakan Tanah Pusaka kita bersama dari cengkraman bandit-bandit Jawa dan kaki-tangan mereka. Jangan hormati mereka itu lagi sebab menghormati mereka berarti menunjang mereka! Menghormati mereka berarti menghina diri-sendiri!     Jangan lagi terima ‘perintah’ dari seberang lautan! Pemerintah Pusat Sumatera tidak bisa di seberang lautan dan tidak bisa di Pulau Jawa. Pemerintah pusat Sumatera mesti terletak si atas bumi Sumatera dan di bawah pimpinan bangsa Sumatera sendiri yang tidak menerima ‘perintah’ dari seberang lautan!     Camkan, saudara-saudaralah yang di-pertuan di Sumatera, bukan bandit-bandit Jawa. Berikan solidaritiet kepada Saudara-saudaramu di Aceh yang sudah masuk dalam medan perang: segala bantuan yang saudara-saudara perlukan akan datang dari Aceh. Jangan ada lagi bangsa Sumatera yang membuat dirinya sebagai anjing Jawa! Memerdekakan Sumatera dari penjajahan bandit-bandit Jawa sangat mudah kalau kita bangsa Sumatera bersatu dan membantu satu-sama lain. Kalau bersatu, kita dapat memerdekakan Sumatera tahun ini juga!     Jangan dengar lagi orang-orang Sumatera yang telah pindah je Jawa; yang masih menerima ‘perintah’ dari bandit-bandit jawa; yang masih membenarkan pulau Jawa sebagai ‘pusat’ Sumatera.     Dengan menamakan dirinya ‘bangsa Indonesia’, orang Jawa menjadi kaya dengan dapat merampas kekayaan bangsa Sumatera; tetapi bangsa Sumatera dengan menerima nama ‘Indonesia’ saudara-saudar menjadi miskin, hina dan hilang dalam dunia! Sadarlah dengan apa yang sudah terjadi. Kitalah yang dapat selamatkan pusaka kaya keturunan Sumatera yang akan datang, dari cengkraman bandit-bandit jawa.     Inilah tanggung jawab kita yang masih hidup sekarang kepada nenek moyang yang sudah berpulang!   WASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar