Deskripsi Diri

Khairil Anwar, SE, M.Si lahir di Paya Naden pada 20 April 1978 dari pasangan Tengku Umar bin Abu Bakar dan Fatimah binti Muhammad. Gelar Sarjana di peroleh dari Unsyiah Banda Aceh, sementara gelar Magister di peroleh dari SPs-USU Medan. Sejak tahun 2002 sampai saat ini bekerja sebagai dosen pada Prodi IESP Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh. Menikah dengan Riza Izwarni dan telah dikarunia dua orang anak; Muhammad Pavel Askari dan Aisha Naury.

Rabu, 30 Maret 2011

PENGELUARAN KONSUMSI


ANALISIS DETERMINAN PENGELUARAN KONSUMSI
RUMAH TANGGA MASYARAKAT MISKIN
DI KABUPATEN ACEH UTARA


KHAIRIL ANWAR
(Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe)
Hp. 085260077320 email: anwar1askari@yahoo.com

ABSTRACT

The aim of this research is to recognize the income variable, the economic activity, and the family size determination, also differences of society living against poor society’s consumption in North Aceh Regency. The Method that used to analyze the data is Multiple Linear Regression model, specified in Least Square Dummy Variable (LSDV) method.   
The data which used in this research is cross-section data, collected from questioner. The observation attended on 180 families that divided equally in three clusters; coastal area, hinterland, and urban. The sample decision  was notified in two stage clusters, on the first level was notified 12 districts from 22 districts, on the second level was notified 2 villages from each 12 district, and for a village in a district was notified 15 families which was determined by judgment sampling.
The estimation result found that all of independent variable positive significantly influenced the food consumption. Otherwise, the negative ones significantly influenced the non-food consumption outcome. The estimation result also found that the level of consumption for many kinds of urban food was fewer than hinterland society food consumption about Rp.12.046,94. However, the urban consumption more excessively than coastal area society about Rp.13.238,54. While the level of consumption outcome for many kinds of non-food urban consumption larger than non-food hinterland consumption about Rp.57.045,73. Also larger than non-food coastal society consumption about Rp.31.760,25. The variation of independent variable capability to explain the food consumption about 92,5% and non-food consumption outcome about 87,4%. The specification models were appropriated which the model free of multicollinierity  and Heteroscedasticity classic assumption collision.
The result of this research was expected to be a good suggestion to the North Aceh Government and related department to arrange the planning and implementing the development policy, especially to improve the life level of poor society, and could be a guidance for poorness decreasing in North Aceh Regency.

Keywords: consumption, income, social-economy, poverty


PENDAHULUAN
Kemiskinan telah menjadi masalah yang dibicarakan secara global, hal ini dapat dilihat dari berbagai tulisan seperti; Levinsohn et.al (1999), Suharyadi et.al (2000), Asra (2000) dan banyak peneliti lainnya yang menyoroti masalah kemiskinan. Berbagai isu yang menyangkut masalah kemiskinan disampaikan, mulai dari sebab-sebab kemiskinan, perangkap kemiskinan, kondisi sosial, pendidikan, kesehatan masyarakat miskin, sampai kepada strategi penganggulangan kemiskinan.

<br />
Sejak tahun 1994 berbagai usaha penanggulangan kemiskinan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) diimplementasikan dengan berbagai program pembangunan, seperti Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pembangunan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Pada saat krisis ekonomi telah diluncurkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Pembangunan Masyarakat Mulia Sejahtera (PMMS), Program Pengembangan Ekonomi Rakyat (PER), Gema Assalam, dan berbagai program sosial lainnya.
Tujuannya adalah untuk merubah nasib masyarakat miskin ke arah yang lebih sejahtera dalam seluruh aspek kehidupannya. Dari laporan yang ada, semua program yang diluncurkan telah terimplementasi dengan baik. Kendati demikian, kenyataan di lapangan memperlihatkan efektivitas program-program belum optimal. Hal ini diperkirakan akibat masih adanya elemen-elemen penting yang belum lengkap pelibatannya dalam implementasi setiap program pembangunan.
Keberhasilan suatu program, termasuk program penangggulangan kemiskinan, paling tidak bergantung pada tiga elemen pokok, yaitu : (1) Pemahaman tentang seluk beluk kelompok sasaran dan wilayah sasaran yang hendak dituju oleh program; (2) Kesesuaian antara tujuan program dengan hakekat permasalahan yang dihadapi oleh kelompok miskin (kelompok sasaran); dan (3) Pemilihan instrumen atau paket program yang paling sesuai serta ketersediaan prasarana dan sarana penunjang. Meskipun demikian, ketiga elemen ini belum menjamin berhasilnya suatu program, melainkan baru merupakan syarat perlu (necessary condition). Untuk benar-benar menjamin keberhasilan program masih diperlukan berbagai persyaratan lain, yaitu  kapabilitas sistem organisasi pelaksana, sistim informasi, dan latar belakang sosial, budaya serta politik yang melingkupinya.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mempunyai 17 Kabupaten, 4 kota, 228 kecamatan, 642 mukim, 112 kelurahan dan 5.947 desa. Selain itu Provinsi NAD yang mempunyai penduduk 4.218.486 jiwa (sebelum tsunami) terdiri dari 2.159.127 jiwa laki-laki dan 2.138.538 jiwa perempuan. Jumlah penduduk ini hanya mengalami pertumbuhan hanya 1,26 persen. Pertumbuhan yang relatif kecil ini cenderung diakibatkan karena daerah ini dalam sepuluh tahun terakhir terus dilanda konflik sehingga banyak penduduk Provinsi NAD yang migrasi ke provinsi-provinsi lain yang dianggap lebih aman, di lain pihak perpindahan penduduk dari provinsi lain ke Provinsi NAD justru mengalami penurunan sehingga pertambahan penduduk hasil migrasi netto menurun drastis.
Konflik berkepanjangan, krisis ekonomi ditambah lagi dengan bencana alam gempa dan tsunami membuat masyarakat Aceh tenggelam dalam penderitaan berkepanjangan. Bencana alam gempa dan tsunami yang melanda Aceh telah meluluhlantakkan berbagai sektor perekonomian Aceh. Pasca tsunami, banyak lahan-lahan pertanian di pantai barat Aceh yang telah menjadi laut, padahal selama sebelum tsunami produksi lahan-lahan pertanian tersebut dapat mencukupi kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Pemerintah telah merencanakan untuk memperbaiki sekitar 17.400 hektar lahan pertanian yang rusak berat akibat endapan lumpur bergaram yang dibawa gelombang tsunami, hal ini tentu saja memerlukan waktu yang cukup lama. Apalagi dibeberapa daerah ada sekitar 2.900 lahan pertanian hilang sama sekali ditelan laut.
Lumpuhnya perekonomian Aceh yang ditimbulkan bencana gempa dan tsunami, ternyata telah menyebabkan jumlah penduduk miskin diperkirakan bertambah satu juta jiwa. Bila pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin di NAD sebanyak 1,1 juta jiwa, realitasnya pada saat sekarang ini telah melampaui 2 juta jiwa. Oleh karenanya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial, diperlukan adanya kebijakan-kebijakan yang dapat mengurangi angka kemiskinan. Hal ini disebabkan tingkat pengagguran yang tetap tinggi yaitu 9,8%, sedangkan tingkat kemiskinan bisa mencapai 16,6%. Sedangkan penyerapan tenaga kerja  sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 yang diperkirakan hanya 5,3% dan tingkat inflasi 7,5% (Kompas, 26 Januari 2005).
Kabupaten Aceh Utara, dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 mencapai 493.599 jiwa yang tersebar di 850 desa yang berada dalam 22 kecamatan merupakan kawasan yang sejak tahun 1984 telah dicanangkan sebagai kawasan investasi terutama sektor industri (zona industri). Pencanangan kabupaten ini sebagai zona industri merupakan upaya pengembangan sektor industri yang tidak terlepas dengan sektor pertanian, artinya pengembangan sektor industri tetap berbasis pada sektor pertanian.  Namun pemanfaatan sumberdaya daerah yang dimiliki tersebut masih mengalami banyak kendala. Selain disebabkan oleh masih minimnya informasi tentang potensi daerah yang dapat dikembangkan, juga belum terciptanya iklim investasi yang memadai, terutama dalam penyediaan infrastruktur, disamping kestabilan politik dan keamanan yang rentan oleh berbagai gangguan.
Suatu hal yang sangat sulit dalam menentukan kriteria miskin bagi masyarakat Indonesia pada umumnya sebagaimana juga yang terjadi di Aceh Utara. Dalam hal-hal tertentu masyarakat akan merasa terusik bila dimasukkan dalam katagori miskin, sementara disaat yang lain justru banyak masyarakat yang berada dalam katagori sejahtera yang mendaftarkan diri dalam katagori miskin. Oleh karenanya, diperlukan suatu pendekatan yang komprehensif untuk menentukan kelompok masyarakat miskin melalui pendekatan pengeluaran konsumsi rumah tangga masyarakat di Kabupaten Aceh Utara, agar kebijakan-kebijakan pemerintah dalam upaya mengentaskan kemiskinan tepat sasaran.

LANDASAN TEORITIS
Teori Konsumsi
Dalam ilmu ekonomi, pengertian konsumsi lebih luas dari pada pengertian konsumsi dalam percakapan sehari-hari. Dalam percakapan sehari-hari konsumsi hanya dimaksudkan sebagai hal yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Dalam ilmu ekonomi, semua barang dan jasa yang digunakan oleh konsumen untuk memenuhi kebutuhannya disebut pengeluaran konsumsi. Dikonsumsi artinya digunakan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan.
Manusia sebagai makhluk individu dan sosial mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas, baik dalam jumlah maupun jenisnya. Untuk memperoleh berbagai kebutuhan tersebut seseorang memerlukan pengeluaran untuk konsumsi. Dari semua pengeluaran yang dilakukan tersebut sekurang-kurangnya dapat memenuhi tingkat kebutuhan minimum yang diperlukan.
Samuelson (1999) menyebutkan salah satu tujuan ekonomi adalah untuk menjelaskan dasar-dasar prilaku konsumen. Pendalaman tentang hukum permintaan dan mengetahui bahwa orang cenderung membeli lebih banyak barang, apabila harga barang itu rendah, begitu sebaliknya. Dasar pemikirannya tentang prilaku konsumen bahwa orang cenderung memilih barang dan jasa yang nilai kegunaannya paling tinggi.
Konsumen akan memilih barang kebutuhan pokok untuk dikonsumsikan, dengan mempertimbangkan nilai guna dari barang tersebut. Keterbatasan anggaran pendapatan yang diterima oleh masyarakat menyebabkan masyarakat harus menunda untuk mengkonsumsi barang-barang yang mempunyai nilai guna tinggi.
Nurhadi (2000) konsumsi adalah kegiatan manusia menggunakan atau memakai barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan. Mutu dan jumlah barang atau jasa dapat mencerminkan kemakmuran konsumen tersebut. Semakin tinggi mutu dan semakin banyak jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi, berarti semakin tinggi pula tingkat kemakmuran konsumen yang bersangkutan sebaliknya semakin rendah mutu kualitas dan jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi, berarti semakin rendah pula tingkat kemakmuran konsumen yang bersangkutan. Masih menurut Nurhadi (2000) tujuan konsumsi adalah untuk mencapai kepuasan maksimum dari kombinasi barang atau jasa yang digunakan.
Salvatore (1994) berpendapat bahwa individu meminta suatu komoditi tertentu karena kepuasan yang diterima dari mengkonsumsi suatu barang. Sampai pada titik tertentu, semakin banyak unit komoditi yang dikonsumsi individu tersebut per unit waktu, akan semakin besar utiliti total yang akan diterima. Dari sisi lain Samuelson (1999) menyebutkan bahwa apabila harga meningkat dan pendapatan nominal tetap, maka pendapatan riil akan menurun, maka konsumen akan mengurangi pembelian hampir semua jenis barang.
Menurut Rosydi (1996),  konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Selanjutnya Sukirno (2000) mendefinisikan konsumsi sebagai pembelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga atas barang-barang dan jasa-jasa akhir dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pekerjaan tersebut.
Rumah tangga menerima pendapatan dari tenaga kerja dan modal yang mereka miliki, membayar pajak kepada pemerintah dan kemudian memutuskan berapa banyak dari pendapatan setelah pajak digunakan untuk konsumsi dan berapa banyak untuk ditabung (Mankiw, 2003).

Fungsi Konsumsi
Putong (2003:184) membuat suatu hipotesa pendapatan absolut yang menyatakan bahwa bila pendapatan nasional naik dari sebelumnya, maka konsumsi juga akan ikut naik, tetapi besarnya kenaikan konsumsi tidak sebesar kenaikan pendapatan, sehingga umumnya besarnya tingkat tabungan akan semakin bertambah.
Dornbusch dan Fisher (1994) terdapat hubungan yang erat dalam praktek antara pengeluaran konsumsi dan pendapatan disposibel. Lebih lanjut Dornbusch melihat bahwa individu merencanakan konsumsi dan tabungan mereka untuk jangka panjang dengan tujuan mengalokasikan konsumsi mereka dengan cara terbaik yang mungkin selama hidup mereka. Lebih lanjut Dumairy (1996) menyebutkan konsumsi berbanding lurus dengan pendapatan.
Dalam teori makro ekonomi dikenal berbagai variasi model fungsi konsumsi. Fungsi konsumsi yang paling dikenal dan sangat lazim ditemukan dalam buku-buku makro ekonomi tentulah fungsi konsumsi Keynesian:
                                                                                                    (1)
Atau,
C = C (Y – T)                                                                                              (2)
Persamaan ini menyatakan bahwa konsumsi adalah fungsi dari disposable income. Hubungan antara konsumsi dan disposable income disebut consumption function (Mankiw, 2003:52). Secara lebih spesifik Keynes memasukkan komponen marginal propensity to comsume (MPC) ke dalam persamaan konsumsinya sehingga menjadi:
,        c0 > 0,       0 < c < 1                                                       (3) 
John Maynard Keynes menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat tergantung pada (berbanding lurus) dengan tingkat pendapatannya. James S. Duesenberry mengusulkan model lain. Berkaitan dengan hipotesisnya tentang pendapatan relatif, ia berpendapat bahwa tingkat pendapatan yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat bukan tingkat pendapatan efektif, maksudnya pendapatan rutin yang efektif diterima, tapi oleh tingkat pendapatan relatif (Dumairy, 1996).
Milton Friedman mengajukan model lain lagi, terkenal dengan hipotesis pendapatan permanen. Menurut Friedman tingkat pendapatan yang menentukan besar kecilnya konsumsi adalah tingkat pendapatan permanen. Tentu saja, selain tingkat pendapatan sebagai variabel pengaruh utama, terdapat kemungkinan beberapa variabel lain turut mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran konsumsi masyarakat. Untuk menghitung besarnya pendapatan permanen dari pendapatan ”rutin-faktual” berdasarkan data pendapatan yang ada, diasumsikan bahwa pendapatan permanen sekarang (YPt) berhubungan dengan pendapatan sekarang (Yt) dan pendapatan satu periode yang lalu (Yt-1) dalam bentuk:
                                          (4)
                                                                                 (5)
Menurut model Evans (1969) jika fungsi konsumsi ditambahkan laju inflasi sebagai variabel lain yang diduga turut mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran konsumsi masyarakat, sehingga model lengkapnya:
                                                                                              (6)
Dimana, C merupakan konsumsi, YP sebagai variabel pendapatan permanen dan P sebagai variabel inflasi. Secara linear model konsumsi ini dapat dikongkritkan sebagai:
                                                                                   (7)
Sukirno (2001) membedakan dua pengertian tentang kecondongan mengkonsumsi marjinal dan kecondongan mengkonsumsi rata-rata:
-        Kecondongan mengkonsumsi marjinal dinyatakan sebagai MPC (Marginal Propensity to Consume) dapat didefinisikan sebagai perbandingan diantara tambahan konsumsi dibagi dengan pertambahan pendapatan disposibel yang diperoleh;
                                                                                              (8)
-        Kecondongan mengkonsumsi rata-rata dinyatakan sebagai APC (Average Propensity to Consume) didefinisikan sebagai perbandingan diantara tingkat pengeluaran konsumsi dengan tingkat pendapatan disposibel, nilai APC dapat dihitung dengan menggunakan formula:
                                                                                                 (9)
Pola konsumsi masyarakat yang belum mapan biasanya lebih didominasi oleh konsumsi kebutuhan-kebutuhan pokok (Dumairy, 1996; Sukirno, 2001).
Konsumsi adakalanya tidak sesuai sebagaimana yang diharapkan, hal ini terjadi karena keterbatasan anggaran. Fisher mencoba membuat persamaan yang menganalisis tentang batas anggaran untuk konsumsi pada dua periode, yaitu; pada periode pertama tabungan sama dengan pendapatan dikurangi konsumsi:
S = Y1C1                                                                                                (10)
Dimana S adalah tabungan. Dalam periode kedua, konsumsi sama dengan akumulasi tabungan (termasuk bunga tabungan) ditambah pendapatan periode kedua, yaitu:
C2 = (1 + r) S + Y2                                                                                    (11)
Dimana r adalah tingkat bunga riel. variabel S menunjukkan tabungan atau pinjaman dan persamaan ini berlaku dalam kedua kasus. Jika konsumen pada periode pertama kurang dari pendapatan periode pertama, berarti konsumen menabung dan S lebih besar dari nol. Jika konsumsi periode pertama melebihi pendapatan periode pertama, konsumen meminjam dan S kurang dari nol. Untuk menderivasi batas anggaran konsumen, maka kombinasi persamaan (2.10) dan persamaan (11) menghasilkan:
C2 = (1 + r) (Y1C1) + Y2                                                                        (12)
Persamaan ini menghubungkan konsumsi selama dua periode dengan pendapatan dalam dua periode. Preferensi konsumen yang terkait dengan konsumsi dalam dua periode bisa ditampilkan oleh kurva indeferens. Kurva ini menunjukkan kombinasi konsumsi periode pertama dan periode kedua yang membuat konsumen tetap merasa senang.


 











Gambar 1: Preferensi Konsumen Selama Konsumsi
Periode Pertama dan Kedua

Gambar 1 di atas menunjukkan dua dari banyak kurva indeferen. Kurva indeferen yang lebih tinggi seperti IC2 lebih disukai daripada kurva indeferen yang lebih rendah IC1. Konsumen tetap merasa senang mengkonsumsi pada titik W, X dan Y, tetapi lebih menyukai titik Z  (Mankiw, 2003:431).
Selanjutnya masih dalam Mankiw (2003:439) Franco Modigliani dalam analisis hipotesis daur hidupnya membuat persamaan yang memasukkan periode waktu dan kekayaan. Seorang konsumen yang berharap hidup selama T tahun, memiliki kekayaan W dan mengharapkan menghasilkan pendapatan Y sampai ia pensiun selama R dari sekarang, maka persamaannya dapat ditulis:
C = (W + RY)/T                                                                                        (13)
Sehingga fungsi konsumsi seseorang dapat ditulis;
C = (1/T) W + (R/T)Y                                                                               (14)
Jika setiap orang dalam perekonomian merencanakan konsumsi seperti ini, maka konsumsi agregat serupa dengan fungsi konsumsi individual. Bisanya, konsumsi agregat tergantung pada kekayaan dan pendapatan. Oleh karena itu fungsi konsumsi perekonomian adalah:
C = αW + βY                                                                                            (15)
Dimana parameter α adalah kecenderungan mengkonsumsi marginal dari kekayaan dan parameter β adalah kecenderungan mengkonsumsi marginal dari pendapatan.

METODE PENELITIAN
Estimasi berbagai jenis pengeluaran konsumsi (K) pada penelitian yang akan dilakukan ini digunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dengan model regresi linear berganda yang diadopsi dari model Kautsoyiannis (1977), Domowitz dan Elbadawi (1987), Nachrowi dan Usman (2002), Lains (2006) yaitu:
                                                (16)
Selanjutnya memasukkan variabel boneka ke dalam model penelitian, yang disebut model LSDV (Least Square Dummy Variabel). Menurut Kuncoro (2004) model LSDV ini mengenali variasi yang tidak konstan dengan cara yang relatif sederhana. Model ini menangkap variasi yang unik dalam suatu intersep yang bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain maupun unik dalam waktu.
Dengan mensubstitusi pengeluaran konsumsi makanan (KMK)  dan konsumsi bukan makanan (KBMKN) sebagai dependen variabel dan variabel independen serta variabel boneka (D) ke dalam model, maka didapat model penelitian ini sebagai berikut:
Model 1:
            (17)
Model 2:
              (18)
Dimana: 
KMKN    =    Pengeluaran konsumsi berbagai jenis makanan (diukur dalam satuan rupiah).
KBMKN   =    Pengeluaran konsumsi bukan makanan (diukur dalam satuan rupiah).
PDPT ­­ =     Pendapatan rumah tangga (diukur dalam satuan rupiah).
AKE      =    Aktivitas ekonomi kepala keluarga (diukur dalam satuan jam kerja).
ART     =   Jumlah anggota rumah tangga (diukur dalam satuan orang).
D1        =    Variabel dummi untuk lokasi tempat tinggal di desa pesisir; diberi kode 1 untuk observasi 1-60, sedang daerah lain diberi kode 0.
D2        =    Variabel dummi untuk lokasi tempat tinggal di desa pedalaman; diberi kode 1 untuk observasi 61-120, sedang daerah lain diberi kode 0.
b0         =    Intersep (konstanta).
b1b3 =    Parameter regresi.
m          =    Kesalahan pengganggu (disturbance)
Sementara itu, untuk daerah tempat tinggal di desa perkotaan (observasi 121-180) tidak dimasukkan ke dalam model. Hal ini sesuai dengan (Kuncoro, 2004) yang menyebutkan cara menyusun variabel boneka adalah jumlah kategori dikurangi satu. Karena dalam penelitian ini ada 3 lokasi tempat tinggal (variabel boneka) maka jumlah variabel boneka dalam penelitian ini adalah 3-1=2. Karena dalam model yang digunakan memasukkan intersep, maka kategori yang dihilangkan menjadi dasar atau benchmark sebagai pembanding lokasi tempat tinggal lainnya. Dalam penelitian ini yang menjadi  benchmark adalah daerah tempat tinggal di desa perkotaan, sehingga untuk lokasi tempat tinggal ini seluruhnya diberi kode 0.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengeluaran Konsumsi
Konsumsi merupakan hal yang mutlak diperlukan oleh setiap orang untuk bertahan hidup. Dalam ilmu ekonomi semua pengeluaran selain yang digunakan untuk tabungan dinamakan konsumsi. Bagi masyarakat miskin pengeluaran konsumsi lebih banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam bentuk pangan, pada saat yang sama sangat sedikit pengeluaran konsumsi untuk jenis non pangan. Sebagaimana telah di jelaskan pada bab sebelumnya jenis konsumsi masyarakat miskin dalam penelitian ini di bagi dalam 2 kelompok, yaitu; konsumsi bahan makanan, dan konsumsi bahan bukan makanan.

Pengeluaran Konsumsi Bahan Makanan
Dalam kelompok konsumsi bahan makanan ini dirinci dari 12 jenis pengeluaran sebagaimana disajikan pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Bahan Makanan Masyarakat Miskin Kabupaten Aceh Utara Menurut Jenis Barang
Jenis barang
rata-rata
std. deviasi
1.        Konsumsi beras
2.        Konsumsi minyak goreng
3.        Konsumsi gula
4.        Konsumsi kopi/teh
5.        Konsumsi ikan basah
6.        Konsumsi ikan asin
7.        Konsumsi garam
8.        Konsumsi sayur-sayuran
9.        Konsumsi buah-buahan
10.    Konsumsi rokok/tembakau
11.    Konsumsi rempah-rempah
12.    Pengeluaran jajanan anak
123.390,00
19.322,22
19.800,00
8.461,11
83.288,89
11.466,67
3.986,11
29.677,78
4.055,56
61.861,11
29.955,56
49.672,22
44.009,52
5.507,64
5.791,68
4.466,34
26.000,32
5.720,58
1.484,02
10.179,20
7.470,40
59.547,71
10.299,33
37.303,35
Sumber: Hasil Penelitian, 2009

Takaran beras yang umum digunakan di Aceh Utara dalam bentuk aree (bambu) dan mok (mug/kaleng susu). 1 aree setara dengan 6 mok atau bila dikonversi dalam bentuk kilogram sekitar 1,5 Kg, dengan harga rata-rata untuk beras kualitas sedang-rendah sekitar Rp.7.500.
Tabel 1 di atas memperlihatkan rata-rata konsumsi beras masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara sebesar Rp.123.390,00 per keluarga per bulan, merupakan pengeluaran terbesar untuk sub kelompok konsumsi makanan. Konsumsi makanan jenis lain yang relatif juga besar adalah untuk konsumsi ikan basah dengan rata-rata Rp. 83.288,89, dan konsumsi tembakau/rokok yang rata-ratanya mencapai Rp.61.861,11 per keluarga per bulan.
Sementara jenis konsumsi makanan yang relatif kecil pada sub kelompok konsumsi garam dan buah-buahan. Sebagai barang inferior rata-rata keluarga miskin di Aceh Utara mengkonsumsi garam Rp.3.986,11 per keluarga per bulan. Untuk konsumsi buah-buahan juga relatif kecil yang hanya Rp.4.055,56 hal ini disebabkan hanya sebagian kecil keluarga miskin yang diobservasi membeli buah-buahan untuk konsumsi keluarga.

Pengeluaran Untuk Bahan Bukan Makanan
Dalam kelompok pengeluaran konsumsi bahan bukan makanan juga  dirinci berdasarkan 11 jenis pengeluaran dari 12 jenis yang direncanakan, namun satu item yaitu pengeluaran untuk gas dihilangkan karena hasil penelitian hanya menjumpai 4 orang keluarga masyarakat miskin yang menggunakan gas, itupun merupakan masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan. Adapun rata-rata pengeluaran berbagai jenis konsumsi bukan makanan sebagaimana disajikan pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Rata-rata Konsumsi Bahan Makanan Masyarakat Miskin Kabupaten Aceh Utara Menurut Jenis Barang
Jenis barang
rata-rata
std. deviasi
1.        Pengeluaran minyak tanah
2.        Pengeluaran bensin/solar
3.        Pengeluaran sabun cuci
4.        Pengeluaran sabun mandi, sampo dan odol
5.        Pengeluaran untuk alat kecantikan
6.        Pengeluaran untuk tagihan listrik
7.        Pengeluaran untuk transport
8.        Pengeluaran untuk SPP anak
9.        Pengeluaran untuk pakaian
10.    Pengeluaran untuk kesehatan
11.    Pengeluaran untuk perabotan
26.927,78
26.527,78
8.872,22

9.500,00
10.872,22
19.411,11
12.333,33
8.616,67
30.261,11
5.183,33
16.333,33
10.582,09
53.937,41
3.729,73

5.193,73
4.584,44
9.554,19
22.074,02
13.675,00
18.731,97
7.274,71
12.973,97
Sumber: Hasil Penelitian, 2009

Berdasarkan data pada tabel 2 di atas, menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran untuk minyak tanah mencapai Rp.26.927,78 per keluarga per bulan, lebih besar dari tagihan listrik rata-rata yang hanya Rp.19.411,11. Hal ini memperlihatkan kebutuhan akan minyak tanah bagi keluarga miskin sangat penting. Sementara pengeluaran untuk bensin/solar rata-rata Rp.26.927,78, ini disebabkan jumlah keluarga miskin yang memiliki fasilitas transportasi sepeda motor hanya 40 rumah tangga. Bagi keluarga yang tidak memiliki fasilitas transportasi harus mengeluarkan biaya transport untuk bepergian ke pusat pasar, besarnya pengeluaran untuk transport rata-rata Rp.12.333,33 per keluarga per bulan.
Rata-rata pengeluaran untuk sabun cuci sebesar Rp.8.872,22 hampir sama dengan pengeluaran untuk sabun mandi/shampoo/odol yang bernilai rata-rata Rp.9.500 per keluarga per bulan. Selanjutnya pengeluaran untuk SPP anak memiliki rata-rata Rp.8.616,67. Sebagai informasi, rata-rata biaya pendidikan di Aceh Utara untuk tingkat SMA sebesar Rp. 15.000, tingkat SMP sebesar Rp.10.000, dan untuk tingkat SD pada umumnya gratis.

Estimasi Model Penelitian
Estimasi untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dilakukan dengan menggunakan model regresi linier berganda, dan secara spesifik untuk menjawab tujuan penelitian yang dirumuskan pada bab-bab sebelumnya yaitu melihat perbedaan pengeluaran konsumsi (makanan dan bukan makanan) masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara juga digunakan model Least Square Dummy Variabel (LSDV). Dimana dengan penggunaan model ini diharapkan akan menunjukkan ada atau tidak perbedaan konsumsi masyarakat miskin antara yang tinggal di wilayah pesisir dan pedalaman dengan masyarakat miskin yang tinggal di perkotaan Kabupaten Aceh Utara.

Model Konsumsi Makanan
Sebagaimana rumusan model regresi linier berganda dengan memasukkan Least Square Dummy Variabel (LSDV) dengan variabel dependen konsumsi berbagai jenis makanan. Hasil estimasi terhadap model, dijumpai:

Tabel 3. Hasil Estimasi Model Konsumsi Makanan
Variabel
Koefisien
Standar Error
t-hitung
Signifikansi
Konstanta
PDPT
AKE
ART
D1
D2
-22499,396
0,598
192,136
9334,887
9260,854
34546,336
15802,460
0,025
89,284
3233,346
8985,870
9089,992
-1,424
23,845
2,152
2,887
1,031
3,800
0,156
0,000
0,033
0,004
0,304
0,000
Variabel Dependen: KMKN
Dengan mensubstitusikan hasil estimasi pada tabel 3 di atas, maka model konsumsi berbagai jenis bahan makanan dalam penelitian ini dijumpai sebagai berikut:


KMKN = -22499,396 + 0,598(PDPT) + 192,136(AKE) + 9334,887(ART) +
                                      (23,845)***        (2,152)**          (2,887)***
              9260,854(D1) +  34546,336(D2)
                   (1,031)              (3,800)***
Keterangan:     )*** signifikan pada α = 0,01
                        )** signifikan pada α = 0,05
                        )* signifikan pada α = 0,10

Berdasarkan model tersebut di atas, dijumpai besarnya nilai konstanta -22499,396 berarti bahwa dengan asumsi variabel lain tidak ada (nol), besarnya konsumsi berbagai jenis bahan makanan masyarakat perkotaan lebih kecil dari konsumsi makanan masyarakat pedalaman Rp.12.046,94. Namum lebih besar dari  konsumsi bahan makanan masyarakat pesisir sebesar Rp.13.238,54. Konsumsi makanan masyarakat pedalaman sebesar Rp.34.546,34. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi bahan makanan masyarakat perkotaan lebih kecil dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman, namun masih lebih besar dibanding masyarakat  pesisir Kabupaten Aceh Utara. Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan Keban (1995) tentang penyebab kemiskinan adalah perbedaan letak kabupaten, letak di kota dan didesa, tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan dan jumlah anggota keluarga.
Koefisien variabel pendapatan (PDPT) sebesar 0,598 yang berarti bahwa kenaikan pendapatan Rp.1.000 akan meningkatkan pengeluaran konsumsi untuk jenis bahan makanan sebesar Rp.598. Koefisien variabel aktivitas ekonomi (AKE) sebesar 192,136 yang berarti bahwa dengan bertambahnya 1 jam waktu kerja dalam 1 bulan akan menyebabkan bertambahnya pengeluaran konsumsi bahan makanan sebesar Rp.192,14. Demikian halnya dengan anggota rumah tangga (ART) dijumpai koefisien sebesar 9334,887 yang berarti bahwa dengan bertambahnya anggota keluarga 1 orang, akan menambah pengeluaran konsumsi bahan makanan sebesar Rp.9.334,89 yang menyebabkan bertambahnya beban pengeluaran keluarga. Hal ini hampir sama dengan temuan Masbar (1996) yang mengemukakan semakin banyak anggota keluarga, semakin besar pula garis kemiskinannya. Namun demikian tingkat kemiskinan per kapita menjadi lebih rendah karena pendapatan relatif kecil itu dibagi dengan anggota yang lebih banyak.

Model Pengeluaran Konsumsi Bukan Makanan
Sebagaimana rumusan model regresi linier berganda dengan memasukkan Least Square Dummy Variabel (LSDV) dengan variabel dependen pengeluaran untuk  bukan makanan. Hasil estimasi terhadap model, dijumpai:

Tabel 4. Hasil Estimasi Model Pengeluaran Bukan Makanan
Variabel
Koefisien
Standar Error
t-hitung
Signifikansi
Konstanta
PDPT
AKE
ART
D1
D2
22499,396
0,402
-192,136
-9334,887
-9260,854
-34546,336
15802,460
0,025
89,284
3233,346
8985,870
9089,992
1,424
16,004
-2,152
-2,887
-1,031
-3,800
0,156
0,000
0,033
0,004
0,304
0,000
Variabel Dependen: KBMKN

Dengan mensubstitusikan hasil estimasi pada tabel 4 di atas, maka model pengeluaran konsumsi bukan makanan dalam penelitian ini dijumpai sebagai berikut: 
KMKN = 22499,396 + 0,402(PDPT) – 192,136(AKE) – 9334,887(ART)
                                      (23,845)***        (-2,152)**        (-2,887)***
              9260,854(D1)  34546,336(D2)
                   (-1,031)             (-3,800)***
Keterangan:     )*** signifikan pada α = 0,01
                        )** signifikan pada α = 0,05
                        )* signifikan pada α = 0,10

Berdasarkan model tersebut di atas, dijumpai besarnya nilai konstanta         22499,396 berarti bahwa dengan asumsi variabel lain tidak ada (nol), besarnya pengeluaran konsumsi berbagai jenis bukan makanan masyarakat perkotaan lebih besar dari konsumsi bukan makanan masyarakat pedalaman Rp.57.045,73. Dan juga lebih besar dari  konsumsi bukan makanan masyarakat pesisir sebesar Rp.31.760,25. Dengan demikian, pada saat pendapatan, aktivitas ekonomi, dan anggota keluarga tidak ada (nol), konsumsi bukan makanan masyarakat pedalaman berkurang sebesar Rp.34.546,34. Demikian juga dengan konsumsi bukan makanan masyarakat yang tinggal di pesisir, pada saat variabel lain konstan, besarnya pengeluaran bukan makanan masyarakat pesisir berkurang Rp.9260,854. Hal ini mengindikasikan bahwa pengeluaran konsumsi bukan makanan masyarakat perkotaan lebih besar dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pedalaman Kabupaten Aceh Utara.
Koefisien variabel pendapatan (PDPT) sebesar 0,402 yang berarti bahwa kenaikan pendapatan Rp. 1.000 akan meningkatkan pengeluaran konsumsi untuk jenis pengeluaran bukan makanan sebesar Rp.402. Koefisien variabel aktivitas ekonomi (AKE) sebesar -192,136 yang berarti bahwa dengan bertambahnya 1 jam waktu kerja dalam 1 bulan justru akan mengurangi pengeluaran konsumsi bukan makanan sebesar Rp.192,14. Demikian halnya dengan anggota rumah tangga (ART) dijumpai koefisien sebesar -9334,887 yang berarti bahwa dengan bertambahnya anggota keluarga 1 orang, justru akan mengurangi pengeluaran konsumsi bukan makanan sebesar Rp. 9.334,89.

Pembuktian Hipotesis
Sebelum melakukan pembuktian hipotesis sebagaimana yang telah dirumuskan pada bagian sebelumnya, terlebih dahulu akan dilakukan uji kesesuaian model (Goodness of Fit) atau uji R2. Sebagaimana hasil estimasi yang dilakukan  dijumpai koefisien korelasi (R) dan koefisien determinasi (R2) sebagaimana ditampilkan pada tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Uji Goodness of Fit Model Konsumsi Makanan dan Model Konsumsi Bukan Makanan

Model konsumsi makanan
model konsumsi bukan makanan
R
R2
R2 Adj
0,962a
0,925
0,923
0,886a
0,874
0,778
a  Predictors: (Constant), D2, ART, AKE, D1, PDPT
Berdasarkan hasil estimasi yang ditunjukkan pada tabel 5 di atas, terlihat bahwa nilai R-Square model konsumsi makanan sebagai variabel dependen sebesar 0,925 yang berarti variasi kemampuan variabel pendapatan (PDPT), aktivitas ekonomi (AKE), dan anggota rumah tangga (ART) serta variabel dummy, dalam menjelaskan besarnya konsumsi makanan masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara sebesar 92,5 persen, sisanya hanya sebesar 7,5 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model.
Demikian juga dengan model kedua, yang memasukkan variabel pengeluaran konsumsi bukan makanan sebagai variabel dependen. Nilai R-Square di jumpai sebesar 0,874 yang berarti variasi kemampuan variabel pendapatan (PDPT), aktivitas ekonomi (AKE), dan anggota rumah tangga (ART) serta variabel dummy, dalam menjelaskan besarnya pengeluaran konsumsi bukan makanan masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara sebesar 87,4 persen, sisanya hanya sebesar 12,6 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model.
Berdasarkan hasil uji Goodness of Fit tersebut memperlihatkan bahwa model konsumsi makanan lebih baik dibandingkan dengan model pengeluaran konsumsi bukan makanan. Namun demikian secara umum kedua model yang digunakan mempunyai koefisien determinasi yang tergolong tinggi, apalagi mengingat data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Perbedaan yang sangat mendasar pada kedua model tersebut terlihat pada nilai R-Square Adjusted, pada model makanan nilainya tidak terlalu berbeda dengan nilai R-Square. Sementara pada model pengeluaran konsumsi bukan makanan terlihat bahwa nilai R2 Adj mengalami penurunan, bila nilai R2 sebesar 0,874 sementara nilai R2 Adj. hanya sebesar 0,778. Hal ini menunjukkan bahwa pada model pengeluaran konsumsi bukan makanan, dengan bertambahnya jumlah variabel ekplanatori yang digunakan, penyesuaian terhadap koefisien determinasi semakin mengecil.

Uji Parsial
Pengujian secara parsial (individu) dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan nilai t-tabel. Selain itu juga dilihat berdasarkan nilai signifikansi (sig.) pada hasil estimasi. Pada jumlah sampel (n) = 180, variabel bebas (k) = 5. Koutsoyiannis, (1981) menjelaskan bahwa besarnya k adalah variabel bebas termasuk konstanta. Dengan demikian k = 6, dijumpai Degree of Freedom (DF) = 180 – 6 = 174. Pada DF = 174 dijumpai t-tabel pada pengujian dua  ekor; α = 0,01 sebesar 2,576,  pada α = 0,05 sebesar 1,960, dan pada α = 0,10 sebesar 1,645.
Uji Parsial Model Konsumsi Makanan
-       Sebagaimana hasil estimasi nilai t-hitung yang ditampilkan pada tabel 3 bahwa variabel pendapatan (PDPT) dijumpai t-hitung sebesar 23,845 > 2,576 berarti bahwa variabel pendapatan berpengaruh signifikan terhadap konsumsi makanan masyarakat miskin Kabupaten Aceh Utara pada α = 0,01. Hal ini diperkuat dengan nilai sig. = 0,000 yang berada dibawah batas toleransi 0,01.
-       Variabel aktivitas ekonomi (AKE) dijumpai t-hitung sebesar 2,152 > 1,960 berarti bahwa variabel aktivitas ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi makanan masyarakat miskin Kabupaten Aceh Utara pada α = 0,05. Hal ini diperkuat dengan nilai sig. = 0,033 yang berada dibawah batas toleransi 0,05.
-       Variabel anggota rumah tangga (ART) dijumpai t-hitung sebesar 2,887 > 2,576 berarti bahwa variabel anggota rumah tangga berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi makanan masyarakat miskin Kabupaten Aceh Utara pada α = 0,01. Hal ini diperkuat dengan nilai sig. = 0,004 yang berada dibawah batas toleransi 0,01.
-       Nilai t-hitung variabel dummy masyarakat pesisir sebesar 1,031 < 1,645 berarti bahwa konsumsi makanan masyarakat miskin yang tinggal di pesisir tidak signifikan berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah daerah perkotaan Kabupaten Aceh Utara.
-       Sementara nilai t-hitung variabel dummy masyarakat pedalaman sebesar 3,800 > 2,576 berarti bahwa konsumsi makanan masyarakat miskin yang tinggal di pedalaman signifikan berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah daerah perkotaan Kabupaten Aceh Utara.
Uji Parsial Model Pengeluaran Konsumsi Bukan Makanan
-       Sebagaimana hasil estimasi nilai t-hitung yang ditampilkan pada tabel 4 bahwa variabel pendapatan (PDPT) dijumpai t-hitung sebesar 16,004 > 2,576 berarti bahwa variabel pendapatan juga berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran konsumsi bukan makanan masyarakat miskin Kabupaten Aceh Utara pada α = 0,01. Hal ini diperkuat dengan nilai sig. = 0,000 yang berada dibawah batas toleransi 0,01.
-       Variabel aktivitas ekonomi (AKE) dijumpai t-hitung sebesar -2,152 > -1,960 berarti bahwa variabel aktivitas ekonomi berpengaruh negatif  dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi bukan makanan masyarakat miskin Kabupaten Aceh Utara pada α = 0,05. Hal ini diperkuat dengan nilai sig. = 0,033 yang berada dibawah batas toleransi 0,05.
-       Variabel anggota rumah tangga (ART) dijumpai t-hitung sebesar -2,887 >   -2,576 berarti bahwa variabel anggota rumah tangga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi bukan makanan masyarakat miskin Kabupaten Aceh Utara pada α = 0,01. Hal ini diperkuat dengan nilai sig. = 0,004 yang berada dibawah batas toleransi 0,01.
-       Nilai t-hitung variabel dummy masyarakat pesisir sebesar -1,031 < -1,645 berarti bahwa pengeluaran konsumsi bukan makanan masyarakat miskin yang tinggal di pesisir tidak signifikan perbedaannya dengan masyarakat yang tinggal di daerah  perkotaan Kabupaten Aceh Utara.
-       Sementara nilai t-hitung variabel dummy masyarakat pedalaman sebesar -3,800 > -2,576 berarti bahwa pengeluaran konsumsi bukan makanan masyarakat miskin yang tinggal di pedalaman signifikan perbedaannya dengan masyarakat yang tinggal di daerah daerah perkotaan Kabupaten Aceh Utara.

Uji Simultan
Uji simultan (serempak) dilakukan untuk menguji signifikansi secara bersama-sama variabel bebas dalam mempengaruhi variabel terikat. Pengujian simultan dilakukan dengan menguji F (Fisher Test). Fisher dalam tulisannya “test of equality between sets of coefficients in two linear regressions: an expository note” dalam  Koutsoyiannis (1981), menyarankan agar dalam model yang menggunakan dua atau lebih variabel bebas dilakukan pengujian F. Pengujian dilakukan dengan membandingkan nilai F-tabel dengan F-hitung. Untuk Degree of Freedom pada pengujian F adalah  v1 = (k – 1) = (6 – 1 = 5), dan v2 = (n – k) = (180 – 6 = 174), dijumpai F-tabel; pada α = 0,01 sebesar 3,02.
Berdasarkan hasil estimasi pada model konsumsi makanan dijumpai nilai F-hitung sebesar 432,230 > 3,02 yang berarti bahwa variabel pendapatan (PDPT), aktivitas ekonomi (AKE), anggota rumah tangga (ART), dan variabel dummy secara simultan sangat signifikan berpengaruh terhadap konsumsi makanan masyarakat miskin Kabupaten Aceh Utara. Hal ini diperkuat dengan nilai sig. sebesar 0,000 yang berada di bawah batas toleransi kesalahan 0,01. Hasil ini konsisten dengan Suparta (2003) hasil estimasi menemukan bahwa variabel pendapatan, tanggungan keluarga, pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan variabel pekerjaan berpengaruh nyata terhadap pengeluaran jenis makanan masyarakat miskin.
Demikian halnya dengan pengujian pada model dua (pengeluaran konsumsi bukan makanan sebagai variabel terikat) ditemukan nilai F-hitung sebesar 126,637 > 3,02 yang berarti bahwa variabel pendapatan (PDPT), aktivitas ekonomi (AKE), anggota rumah tangga (ART), dan variabel dummy secara simultan sangat signifikan berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi bukan makanan masyarakat miskin Kabupaten Aceh Utara. Hal ini juga diperkuat dengan nilai sig. sebesar 0,000 yang berada di bawah batas toleransi kesalahan 0,01 (1%).

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
1.        Dari model LSDV dapat disimpulkan keunikan model ini dalam menjelaskan perbedaan konsumsi masyarakat miskin yang tinggal di daerah perkotaan dengan masyarakat miskin yang tinggal di wilayah pesisir maupun pedalaman Aceh Utara. Dari model ini dapat disimpulkan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat perkotaan jauh lebih baik dibandingkan dengan pengeluaran konsumsi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pedalaman. Dari segi koefisien regresi, pendapatan kepala rumah tangga tetap menjadi variabel utama yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi makanan maupun bukan makanan masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara.
2.        Hasil regresi ditemukan bahwa pada model konsumsi makanan semua variabel eksplanatori berpengaruh positif dan signifikan, sementara pada model pengeluaran konsumsi bukan semua variabel eksplanatori berpengaruh negatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan meningkatnya konsumsi makanan, keluarga masyarakat miskin di Aceh Utara terpaksa harus mengurangi dan menunda pengeluaran konsumsi bukan makanan. Penambahan dalam konsumsi erat kaitannya dengan tingkat pendapatan, variabel lain yang turut meningkatkan besarnya konsumsi adalah aktivitas ekonomi dan jumlah anggota rumah, serta wilayah tinggal keluarga miskin tersebut.
3.        Secara statistik, variabel pendapatan, aktivitas ekonomi kepala keluarga, jumlah anggota rumah tangga, dan wilayah tempat tinggal keluarga signifikan mempengaruhi besarnya konsumsi masyarakat miskin, baik dari pengujian secara parsial maupun pengujian secara simultan. Bila dibandingkan dengan pengujian secara parsial, pengaruh variabel-variabel tersebut secara simultan lebih tinggi. Sehingga kesimpulan dari uji inferen statistik menerima hipotesis alternative dan menolak hipotesis null.

Implikasi
Pada bagian akhir penelitian ini, penulis ingin menyarankan beberapa hal sebagai implikasi dari penelitian ini, yaitu:
1.        Pemerintah daerah perlu melakukan langkah strategis guna menanggulangi masalah kemiskinan di Aceh Utara, rencana penanggulangan dapat dilakukan dengan proses indentifikasi keluarga miskin absolut dan miskin relatif, memperluas lapangan kerja yang sesuai dengan spesifikasi kemampuan masyarakat miskin, meningkatkan budaya wirausaha masyarakat melalui pemberian modal kerja bagi sektor-sektor produktif.
2.        Pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait perlu meningkatkan fasilitas pelayanan publik terutama yang diprioritaskan bagi masyarakat miskin yang berada di wilayah pesisir dan wilayah pedalaman Aceh Utara, diantaranya pemberian kartu miskin secara merata kepada seluruh keluarga miskin yang layak dibantu biaya hidup tunai, layak dibantu modal usaha, dan layak dibantu lapangan kerja. Menambah dan memperbaiki sarana transportasi (seperti; jalan, jembatan, dan sarana tranportasi umum) untuk mempermudah akses keluarga miskin terutama yang berada di wilayah pesisir dan pedalaman dengan pusat pasar dan pusat pemerintahan. Meningkatkan sarana dan kualitas pendidikan (seperti; sekolah, dan peningkatan kualitas guru), dan juga memberikan pelayanan pendidikan gratis kepada anak-anak dari keluarga miskin tidak hanya ditingkat SD/MI tetapi setidaknya juga untuk pendidikan menengah.




DAFTAR PUSTAKA
Asra, Abuzar (2000) Poverty And Inequality In Indonesia: Estimates, Decomposition, And Key Issues, Journal of the Asia Pacific Economy, pp.    1-21.
Badan Pusat Statistik (2006) Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Aceh Utara, BPS Aceh Utara.
______ (2006) Penduduk Kabupaten Aceh Utara Tahun 2005, Jakarta.
______ (2007) Potret dan Prospek Ekonomi Indonesia Memanfaatkan Hasil Sensus Ekonomi, Makalah Sosialisasi Hasil Sensus Tahun 2006, Tanggal 14 Mei 2007, Lhokseumawe-NAD.
Domowitz dan Elbadawi (1987) An Error Approach to Money Demand (The Case of Sudan), Journal of Development Economics, Vol. 26 pp. 257-275.
Dornbusch, R dan Fisher, S (1994) Macroekonomi, Edisi Keempat, Alih Bahasa Mulyadi, JA, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Dumairy (1996) Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Keban, Yeremias (1995) Profil Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur, Majalah Prisma, No. 10 Tahun XXIV, Oktober 1995.
Koutsoyiannis (1977) Theory of Econometrics, Second Edition, The Macnillan Press Ltd, London.
Kuncoro, Mudrajad (2004) Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Kedua, Penerbit AMP-YKPN, Yogyakarta.
Lains, Alfian (2006) Ekonometrika: Teori dan Aplikasi, Jilid II, LP3ES, Jakarta.
Levinsohn, James et.al (1999) Impacts of The Indonesian Economics Crisis: Price Changes and The Poor, NBER Working Paper, No. 7194
Mankiw, N. Gregory (2003) Teori Makroekonomi, Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta.
Masbar, Raja (1996) Model Mikroekonomi Terhadap Garis Kemiskinan, FE-Unsyiah, Banda Aceh.
Nachrowi, N. D dan Hardius Usman (2002) Penggunaan Teknik Ekonometri, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Nurhadi, Suyanto (2000), Ekonomi, Erlangga, Jakarta.
Putong, Iskandar (2003), Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Rosydi, Suherman (1996), Pengantar Teori Ekonomi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Salvatore Dominick (1994), Ekonomi Pembangunan,  Erlangga, Jakarta.
Samuelson, Paul dan Nordhaus, (1999), Mikro Ekonomi,  Ed. XIV, Erlangga, Jakarta.
Suharyadi, Asep et.al (2000) The Evolution of Property During The Crisis in Indonesia 1996-1999, Policy Research Working Paper, No. 2435
Sukirno, Sadono (2000), Pengantar Teori Makroekonomi,  Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suparlan, Parsudi (1984) Kemiskinan di Perkotaan, Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.